Tuesday, August 24, 2010

Mengekalkan Perkahwinan Tanpa Cahaya Mata

“Abah...abah...mak...mak...” Terdengar celotehan tanpa erti, keluar dari mulut mungil si anak kecil itu. Bayi lelaki berkulit putih kuning yang comel itu tengah senang-senangnya meracau sambil tertatih-tatih berjalan. Apalagi bila mendengar suara motorsikal diletakkan di depan rumah, cepat-cepat ia merangkak keluar rumah sambil teriak-teriak. “Abah...abah...” seraya menghentakkan tangannya minta didukung. Demikian rutin yang sangat digemari anak kecil itu saat ayahnya kembali setelah seharian bekerja. Wajah letih si ayah menghilang sudah, terhapus oleh pesona ceria yang ditebarkan si anak. Tak peduli esok ia akan kembai mengulangi rutin yang sama, memasrahkan dirinya untuk kesejahteraan anak dan isterinya. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh para ibu. Aktiviti dua puluh empat jam untuk menata kehidupan keluarganya sehari-hari bukanlah hal mudah dilakukan. Peluh dan tingkat “stress” yang tinggi sama mudahnya akan menyerang mereka. Akan tetapi, lagi-lagi, motivasi untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga, khusus untuk anak-anaknya menjadi penggerak yang kuat sehingga mereka boleh bertahan menjalankan aktiviti yang sangat meletihkan. Bahkan, anak pula yang membuat setiap ibu rela mengorbankan dirinya, agar anak yang telah dikandungnya dengan susah payah selama sembilan bulan boleh keluar dari rahimnya dengan selamat, walau apapun caranya. Kerananya, sangat mudah difahami bila kehadiran anak dalam kehidupan berumahtangga merupakan salah satu faktor penentu kebahagiaan perkahwinan meskipun faktor tersebut bukan hal yang utama. Namun, siapa yang dapat menyangkal kebenaran umum ini? Sebaliknya, ketiadaan anak di tengah-tengah keluarga amat sangat mudah meruntuhkan “bangunan perkahwinan”. Nikmat memiliki anak merupakan kebahagiaan yang tak boleh diukur oleh apapun bagi setiap ibu bapa. Anak merupakan bukti kekuatan, kesuburan dan kemampuan para ibu bapa dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini. Di samping itu, anak-anak juga merupakan ladang untuk dapat digunakan menanam cita-cita atau harapan-harapan para ibu bapa yang belum berhasil diwujudkan. Lebih jauh lagi, bahkan sebagai ‘penjamin’ mereka di Hari Kiamat nanti ketika doa-doa anak-anaknya yang salih mampu membebaskan mereka dari seksa neraka. Maka, setidaknya, atas sejumlah alasan-alasan tersebutlah setiap pasangan berusaha sekeras mungkin agar rumahtangga mereka dikurniai anak-anak. Tapi, bagaimana bila tidak? Bagaimana jika anak yang iharapkan ternyata tak jua hadir walaupun segala upaya sudah dikerahkan? Akan rapuhkah hubungan perkahwinan yang sudah terbangun kukuh?

Hubungan yang sepi
Banyak pasangan yang sudah menjalani kehidupan rumahtangga bertahun-tahun belum juga dianugerahkan keturunan. Bahkan, mungkin sampai umur mereka sudah tak layak lagi disebut muda. Di saat pasangan lain telah memasuki tahap menimang cucu, sebahagian pasangan masih saja menunggu-nunggu kehadiran anak. Kalaulah Allah pada akhirnya menurunkan kurniaNya pada mereka, tempoh waktu yang harus dilalui mereka sudah terbilang lama. Pasangan Nur - Rahman, misalnya. Kehadiran puteri kecil yang baru berusia dua tahun baru hadir tatkala usia perkahwinan mereka memasuki tahun kesebelas. Walau penantian itu terlalu lama, tentu saja ini jauh beruntung berbanding nasib kawan karibnya, Hasan - Mimi, yang telah melewati perkahwinannya selama hampir dua puluh tahun. Tak mudah bagi mereka melewati hari-hari yang begitu sepi tanpa kehadiran anak di tengah-tengah mereka. Rona kebahagiaan yang sering mereka lihat tatkala pasangan lain sudah asyik bercengkerama dengan putera-puterinya menyisakan luka yang samar dan sedikit demi sedikit menumpuk di relung-relung kalbu pasangan macam Hasan - Mimi mahupun Nur -Rahman. Apalagi jika kenyataannya tak ada faktor yang membuat mereka musykil dikurniai keturunan. Lama-lama, luka yang ada menebal sehingga harapan yang semestinya terpupuk pun pudar bahkan memicu konflik. Dalam keadaan ini, berbanding pihak suami, perempuan (isteri) biasanya lebih cepat tertekan, rendah diri, bahkan cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Mereka mudah dihinggapi kekhuatiran akan ditinggal pasangannya kerana menganggap dirinya tidak subur dan ideal sebagai isteri atau ibu. Alih-alih usaha memiliki anak tercapai, rumahtangga malah di ambang kehancuran. Tak mudah memang melewati masa penantian dan sepinya hari-hari tanpa kehadiran anak. Benih-benih konflik yang memicu perpecahan amat mudah tercetus. Sedikit saja gesekan muncul mampu menyeret pada jurang perpisahan.

Selanjutnya dapatkan Hidayah September 2010 di pasaran...

No comments: