DEMIKIANLAH nasib yang dialami Syamsiah, seorang ibu berhati mulia yang menemukan cinta Illahi ketika musibah besar menerkam segenap harapan dan kebahagiaannya. Bencana tanah lungsur telah merenggut nyawa orang-orang tercintanya, menelan seluruh harta bendanya. Tapi Allah Maha Berkehendak, dia hingga kini masih dapat menggunakan kain telekong dan sejadahnya yang merupakan satu-satunya harta bendanya yang terselamat dalam tragedi tanah lungsur itu. Telekong dan sejadah itu bagaikan ‘pesan’ indah dari Allah menyapa dirinya: ia harus setia beribadah dan bertaqarrub kepada Allah.
Pagi yang Kelabu
Khamis itu cuaca terasa dingin. Kabut putih tipis menyelimuti kawasan perbukitan itu. Sementara kaum muslimin baru saja selesai bersahur dan bersolat subuh berjemaah. Sebahagian besar penduduk menyambung lelap dalam dekapan kehangatan selimut, tenggelam di tengah rajutan mimpi-mimpi indah. Tiba-tiba, sekitar pukul jam 6.00, keheningan saat fajar merekah pecah oleh suara ledakan hebat, “Bllaarrr…!” Segenap penduduk setempat tersentak terkejut, terbangun dari tidur nyenyak masing-masing. Pada mulanya mereka menyangka sebuah bom dahsyat telah meletup. Tetapi belum sempat memahami apa yang sesungguhnya terjadi, menyusul kemudian suara gemuruh yang hebat: “Dhuaar...dhuaarr ...dhuaarr...blaarr...!” Batu-batu, tanah dan pepohonan jatuh bergelindingan, menimbus rumah-rumah, mengubur hidup-hidup semua manusia yang dilewatinya. Bumi terasa bergoncang dahsyat, dunia seolah dilanda kiamat. Orang-orang mulai tersedar. Mereka berloncatan keluar. Suara tangis, pekik ketakutan, rintihan membahana, sahut menyahut. Perkampungan di kaki Bukit Lantiak, Kota Padang pun langsung kelam kabut, kacau tak tentu arah. Dalam sisa keremangan subuh itu, samar-samar terlihat bukit yang dulunya hijau telah terkopak. Runtuhan tanah lungsur meninggalkan bekas menyolok yang jelas dapat dipandang dari jarak sekitar sepuluh kilometer. Sekejap mata terhampar pemandangan yang memilukan. Beberapa rumah kediaman dan ladang lenyap dalam seketika; berganti hamparan tanah merah, bebatuan serta pohon-pohonan yang jatuh bertumbangan. Ya, sebuah bencana alam baru saja terjadi. Dimana-mana berserakan kaki, tangan dan anggota tubuh manusia yang terpotong-potong. Manusia-manusia meregang nyawa begitu memilukan. Tubuh yang tak utuh. Wajah yang lebam dan biru-biru. Semua nestapa itu begitu jelas di pelupuk mata. Para penduduk berusaha menyelamatkan orang-orang yang tertimbun dan terluka. Tapi kebanyakan mereka memilih untuk menyingkir sejauh mungkin, kerana khuatir datangnya susulan tanah yang melungsur.
9 Disember 1999 adalah tarikh yang tak terlupakan oleh masyarakat Sumatera Barat. Pada bulan Ramadan yang penuh berkat dan maghfirah itu terjadi bencana yang menelan sebilangan korban. Saat itu, terakhir berhasil diperoleh data korban yang meninggal dunia mencapai 65 orang. Malahan, beberapa keluarga dinyatakan punah sebab semua anggotanya meninggal dunia. Dari keseluruhan korban yang terbunuh, sekitar 8 hingga 10 orang tidak boleh ditemukan. Kemungkinan jenazah mereka terbenam sangat dalam hingga sulit untuk digali. Kemudian seluruh jenazah yang berjaya ditemukan dikebumikan secara beramai. Satu kubur terpaksa dikembumikan untuk sepuluh jenazah.
Bahagia Sekejap Mata
Bagi Syamsiah sendiri, bencana itu menyimpan perih yang menghujam sanubarinya. Ia masih ingat aktiviti terakhir bersama-sama keluarga yang membahagiakan: suasana makan sahur bersama sekeluarga. Meski, hidup hanya sekadar mencukupi dan penuh kesederhanaan, kehidupan keluarganya sarat penuh harmoni. Sifat qana’ah [merasa cukup] sudah melekat di dalam rumah tangganya. Suatu pagi, selesai menunaikan solat subuh di surau berdekatan, ibu yang aktif di majlis pengajian ilmu itu bergegas pergi ke tempat kerjanya di pasar. Syamsiah rela menjadi pembantu rumah tangga sebagai tukang cuci demi membantu suami mencari nafkah, demi masa depan kehidupan anak-anak mereka kelak. Apalagi hari raya makin dekat; perlu persiapan sedikit perbelanjaan untuk menyambut hari raya aidilfitri. Malangnya, belum jauh kakinya melangkah, Bukit Lantiak pun runtuh. Tanah lungsur di pagi buta itu begitu luar biasa ganasnya; memupus semua harapan indahnya menyambut hari raya. Saat kembali ke rumah, yang didapati hanya hamparan tanah merah. Pada hari itu Syamsiah lima kali pengsan tak sedarkan diri. Kalaupun siuman ia mengalami histeria. Bahkan beberapa orang yang memegangnya kalah dibuatnya. Hingga seorang ustaz kemudian datang mengingatkannya kepada Allah s.w.t. Bersedih dan dukacita hal yang manusiawi semulajadi, tapi jangan terbabas; diri harus tetap terkendali. Syamsiah mulai boleh menabahkan jiwanya. Ia lalu nasihatkan agar sering-sering membaca surah Yaasin dan menunaikan solat sunat. Syukurlah, ia mampu membacanya sampai tamat walaupun pengsan lagi. Selanjutnya, hari-hari bahagia bersama keluarga berganti dengan air mata, air mata dan air mata. Betapa tidak terpukul! Syamsiah kehilangan 10 orang keluarga besar yang tertimbus dalam tragedi dahsyat itu. Itupun hanya 2 mayat yang ditemukan dan boleh dikubur kembali, yang lainnya dianggap hilang. Namun ketabahan perlahan mulai tertanam di dadanya. Sebilangan yang menziarahinya datang silih berganti menenangkannya. “Bersyukurlah, Syam! Orang lain cuma seorang yang mati, tapi boleh gila dibuatnya. Kamu hampir semuanya hilang: suami, ayah, adik beradik, anak-anak dan harta benda tapi masih boleh menguruskan diri.” Bencana yang secara tiba-tiba tentu menoreh luka yang teramat perih. Di samping banyak menelan korban jiwa, beberapa orang yang selamat justeru tidak waras lagi. Seperti seorang ibu yang kematian anak gadisnya. Ia suka berjalan dari satu rumah ke rumah lain. “Adakah Upik di sini? Kemana saja dia? Ini ada baju baru untuknya.” Hati siapakah yang tidak tersentuh, prihatin dan sedih. Bahkan, suatu hari, salah seorang gadis terpaksa pura-pura mengaku sebagai anaknya...
Baca seterusnya di dalam Hidayah September...
Sunday, May 4, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment