SUNAN MURIA adalah tokoh agama yang amat bersahaja. Dia tidak berkaitan dengan hal-hal berkaitan politik atau populariti yang memungkinkan kisahnya lebih banyak tercatat dalam sejarah. Sebagai wali, Sunan Muria lebih banyak membenamkan dirinya dalam kehidupan rakyat kecil, yang miskin dan golongan marhaein. Para pelajarnya (para pengikutnya) kebanyakan ialah para petani dan nelayan kecil. Dia berbaur dan menyelami setiap sisi terdalam kehidupan rakyat jelata. Sunan Muria “Membaurkan diri” dengan sebenar-sebenarnya dalam kehidupan masyarakat. Langkahnya yang sederhana ini telah membawanya menciptakan tembang Sinom dan Kinanti. Satu tindakan lain yang membuktikan Sunan Muria menyusup dalam ke lubuk hati rakyat adalah tidak dilarangnya tradisi mengadakan kenduri setelah kematian seseorang yang kenal dengan tradisi Hindu-Jawa. Namun begitu, menurut catatan sejarah, ia tetap melarang tradisi-tradisi yang mutlak sebagai amalan syirik. Contohnya seperti membakar kemenyan dan menaruh sajian di tempat-tempat yang dianggap keramat.
Metode yang merupakan lanjutan dari kerja dakwah ayahnya ini menyebabkan Sunan Muria lebih mengenal tradisi rakyat Jawa. Dia juga dikenal sebagai seorang seniman yang melestarikan gamelan dan tradisi kesenian lainnya. Melalui media ini sedikit demi sedikit Sunan Muria memasukkan ajaran serta kebajikan Islam.
Inilah pintu masuknya memperkenalkan Islam. Dengan begitu, rakyat tidak merasa adanya kejutan. Pembenaran tentang ajaran Islam diterima rakyat secara rasional, sebab berjalan di wilayah yang akrab dengan mereka. Syair-syair Jawa diubah liriknya dengan kebajikan-kebajikan Islam. Rakyat boleh lebih mengenal Islam sebagai sesuatu yang lembut. Metode ini sebenarnya masih berlangsung hingga kini di Jawa. Setidaknya banyak kiai dan ulama, terutama yang berasal dari Nahdhatul Ulama (UN), menggunakan metode ini untuk boleh lebih memasukkan kebaikan Islam dan membetulkan pemahaman-pemahaman rakyat yang salah. Begitu dekatnya Sunan Muria dengan rakyat hingga keluasan dakwahnya merambah daerah dan pemukiman terpencil. Seperti daerah Gunung Muria sendiri yang sebenarnya amat terpencil sebab harus melalui jalan menanjak lebih kurang 700 anak tangga – yang bukan saja terjal tapi perlu waktu lebih kurang 30 minit mencapainya. Dakwahnya juga meluas ke Pati, Pesisir Jawa, selain tentunya juga Kudus.
Hadir di Hati Rakyat
Sunan Muria nama asalnya Raden Umar Said. Beberapa ahli sejarah berpendapat dia putera kandung Sunan Kalijaga, hasil perkahwinan dengan Dewi Saroh. Dua ahli sejarah, A. M. Noertjahjo dan solihin Salam, setuju dengan pendapat ini. Melalui perkahwinan ini lahir tiga anak: Sunan Muria, Dewi Rukyah dan Dewi Sofiah. Pendapat ini diperkuat dua catatan lain: Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Lahirnya negara-negara Islam di Nusantara (1968) karya Profesor Dr. Slamet Muljana, dan Sunan Muria: antara Fakta dan Legenda (1983), karya Umar Hasyim. Sementara itu Pustoko darah agung, buku karya R. Darmowasito yang menelaah salasilah raja-raja dan wali tanah Jawa menyebut Sunan Muria sebagai putera Sunan Ngudung. Tapi versi ini lemah.
Di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus di Puncak Gunung Muria terletak pemakaman Sunan Muria. Makam ini terletak di bangunan kuno yang tepat berada di belakang mihrab masjid peninggalan Sunan Muria. Sampai saat ini makamnya terus diziarahi. Kebersahajaannya mendatangi daerah-daerah terpencil membuat kisah Sunan Muria tak terlalu heboh, bahkan boleh dikatakan sepi. Itu kerana ia sangat fokus berdakwah dan tak terlibat dalam kegiatan politik di pulau Jawa pada masa itu. Wajarlah catatan mengenai dirinya sangat sedikit. Tak banyak pula ahli sejarah dan peneliti yang mahu fokus menyusuri jejaknya. Tak ada catatan pasti bila dia dilahirkan dan bila pula dia meninggal dunia. Sekalipun begitu, dia juga tak dilupakan kerana rakyat Kudus memang mengenalnya dan pernah merasakan jejak dakwahnya di sana. Sebagaimana kisah wali lain di tanah Jawa, banyak kisah rakyat turun temurun mengenai Sunan Muria. Kisah ini memang sudah menjadi legenda kerana hanya berasal dari cerita lisan masyarakat. Salah satunya adalah kisah Sunan Muria dan Adipati Thapak Warak. Suatu hari Sunan Muria menghadiri majlis kenduri yang diadakan oleh Ki Ageng Ngerang, salah seorang gurunya yang juga ulama terpandang. Maksud hajat itu ditujukan bagi keselamatan puteri Ki Ageng Ngerang yang genap berusia dua puluh tahun. Ki Ageng Ngerang mengharapkan puterinya menjadi wanita salihah dan dapat bertemu jodoh dengan lelaki salih. Di antara yang hadir adalah Sunan Kudus dan Adipati Thapak Warak.
Puteri Ki Ageng Ngerang, Dewi Roroyono, dan adiknya, Dewi Pujiwati, direncanakan akan bertindak sebagai penjamu yang menghidangkan makanan. Setelah waktunya tiba, mereka berdua masuk ke ruang yang dipenuhi undangan. Ternyata Dewi Roroyono memiliki kecantikan yang luar biasa.
Seterusnya dapatkan Hidayah Mei 2010 di pasaran...
Tuesday, May 4, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment