BERTERIMA KASIHLAH kepada perempuan. Berterimakasihlah kepada isteri-isteri anda. Atas kekuatan hatinya dan ketabahan jiwanya menghadapi anda, si suami, kaum Adam. Kesediaannya mengandung seorang bayi, pewaris anda. Rasa sakit fizikal, termasuk ujian kejiwaan yang dijalaninya selama hamil. Terlebih, saat buah hati itu menghirup dunia untuk pertama kalinya; dialah, si hawamu, yang akan menenangkan dan menyediakan setumpuk kasih sayangnya. Apalagi, saat si kecil itu menangis tak keruan meminta disusui ibunya, dialah makhluknya. Bahkan, saat si bayi menangis di malam yang begitu tua dan anda tertidur lena lantaran lelah seharian bekerja; dialah, pasangan hidupmu, yang bersetia menggendongnya, mententeramkannya, padahal ia sudah seharian menjagai bayimu dan berbagai kerenah rumahtangga seharian penuh. Dan, bayangkanlah bila perempuanmu itu juga merangkap “pasangan” bisnesmu , ia ikut membantu perekonomian bahtera rumahtanggamu, maka bergandalah tanggungjawabnya: menjadi isteri sekaligus pembantu pencari nafkah.
Sengaja saya buka tulisan ini dengan ayat sedemikian. Bukan tanpa sebab musabab, apalagi ianya teori semata-mata. Saya memiliki isteri dan saya belajar banyak hal tentangnya, tentang karenah kejiwaan yang melingkupi dirinya, hatinya. Terlebih, pelajaran berharga itu saat ia mengandung dan merawat baik-baik calon ahli waris saya. Segenap ujian yang dilaluinya begitu hebat: fizik dan psikologi. Rasa sakit yang dialaminya; hidup dan mati memperjuangkan buah hati kami. Itu, boleh jadi, sebab pertama. Sebagai bukti bahawa saya tidak mengada-ada. Kedua, pada saat bersamaan, khabar luka yang saya dapatkan dari derita perempuan-perempuan, baik yang saya kenal secara karib, mahupun yang tidak. Izinkan saya mewartakannya barang sekilas.
Susi, sebut saja begitu namanya. Barangkali, usianya baru 36 tahunan. Perempuan yang mungil, berkulit gelap, dengan bertudung hitam dan beg galas lusuh di bahunya. Di suatu hari, ia datang ke pejabat kami, membawa setumpuk naskhah yang memohon dimuat majalah kami. Rupanya, ia peminat setia Hidayah. Betapa tidak, sejak sekolah hingga sekarang ia masih setia membaca majalah ini. Dia bawa dua gadis kecilnya yang masih kecil; anak usia 2 tahun dan 4 tahun. Katanya, sejak tiga bulan yang lalu, suami tampan yang dipuja-pujanya telah meninggalkannya, seraya menunjukkan foto suaminya. Tanpa khabar, tanpa nafkah lahir dan batin yang menjadi tanggungjawabnya. Maka jadilah ia berjuang mengais rezeki dengan segenap kemampuan dan tenaga yang dimilikinya. Siti, mari kita panggil saja demikian. Angka umurnya belum genap 30 tahun. Anaknya baru seorang, seorang gadis kecil yang nyatanya sedang berghairah atas segala sesuatu. Muslimah yang berkerjaya dengan pendapatan bulanan melebihi pendapatan suaminya ini telah berjuang ‘mati-matian’ mempertahankan rumahtangganya. Betapa tidak, saat suaminya terperuk dan menganggor, dialah yang tampil memenuhi keperluan ekonominya. Pun saat si suami tergolek lemah selepas kemalangan hebat di satu tragedi yang memilukan.
Seorang anak yang tengah aktifnya dan seorang suami yang menuntut dilayani. Sebuah pengorbanan lahir dan batin yang begitu besar. Dia ‘pahlawan’ rumahtangga. Tapi, apakah yang didapatkanya setelah sekian tahun perkahwinannya? Perempuan kedua hadir. Si suami memiliki wanita impian lain, tanpa mempertimbangkan hatinya, tanpa menimbang-nimbang gejolak batinnya yang bergemuruh setiap saat.
Selanjutnya dapatkan Hidayah Januari 2011 di pasaran...
Wednesday, January 5, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment