SEBAHAGIAN peristiwa pada ekspedisi Tabuk terjadi pada bulan Ramadan. Persiapannya sendiri dilakukan sejak bulan Rejab, tahun ke-9 Hijriyah, untuk menghadapi Rom. Waktu itu adalah masa-masa sulit bagi kaum muslimin di Madinah, kerana mereka sedang dilanda masa kekurangan makanan. Kala itu, cuaca panas sangat menyengat, sehingga ada beberapa orang yang merasa berat hati untuk ikut serta dalam ekspedisi tersebut. Bagaimanapun, pada akhirnya, kaum muslimin pun berangkat ke Tabuk dengan kekuatan cukup besar, iaitu sekitar 30,000 tentera. Sebabnya, kaum muslimin mendapat berita dari para pedagang yang kembali dari negeri Syam bahawa orang-orang Rom telah menghimpun kekuatan besar dengan sokongan orang-orang Arab Nasrani dari suku Lakham, Judzam dan lainnya yang berada di bawah kekuasaan Rom. Berikut ini sekilas kisah seorang sahabat yang turut mengambil bahagian dalam ekspedisi Tabuk.
Nuraninya Terpanggil
Siang itu panas terasa seperti menyala-nyala di kepala. Sengat matahari hampir membakar tubuh. Gurun sahara berubah menjadi gundukan api yang berkobar-kobar. Dari kejauhan, tampak seorang lelaki membawa sebilah tongkat kecil. Wajahnya murung, pandangannya kabur dengan gerakan lemah. Ia berjalan tertatih-tatih tanpa mempedulikan panas yang mematikan. Lelaki itu bernama Abu Khaitsamah. Saat itu, perasaannya bingung dan bimbang; ingin menyusul para pejuang muslim ataukah tidak. Batinnya betul-betul terguncang. Sesungguhnya untuk sampai ke sana perlu waktu lama; harus melintasi gurun sahara, naik turun gunung yang teramat berat. Tapi di satu sisi, ia membayangkan begitu banyak temannya yang tetap berkobar semangatnya. Malam kian larut. Rasa mengantuk mulai menyergap pelupuk mata Abu Khaitsamah. Fikirannya masih bercelaru dan belum dapat berfikir jernih. Sampai pagi tiba, belum terdengar berita apa pun di telinganya kecuali pasukan yang siap melakukan perjalanan. Orang-orang yang melalui di jalan mahupun lorong-lorong Madinah menyaksikan kesibukan kaum muslimin menghadapi perang yang bakal terjadi. Di salah satu sudut Madinah, sekelompok pemuda melakukan latihan. Mereka merayap di pasir, berlawan pedang dan ketangkasan melempar tombak. Di samping mereka, salah seorang yang sudah berpengalaman di medan perang melangkah bergaya dengan tombak di tangannya memberikan arahan kepada anak-anak buahnya. Di beberapa batang jalan, anak-anak bersorak-sorai menyanyikan lagu kepahlawanan dengan semangat luar biasa. Sementara itu, di balik tembok sejumlah rumah terlihat para perawat sedang memberikan pengarahan tentang tata-cara membalut luka dan menolong orang di medan perang. Yang jelas, Masjid Agung di Madinah penuh dengan lautan kaum muslimin yang tak henti-hentinya bersolat dan memanjatkan doa. Detik-detik pemergian ekspedisi pun tiba. Pasukan mulai bergerak. Abu Khaitsamah tak ikut serta. Malahan ia memutuskan pulang dengan perasaan sedih dan menderita. Mendapati suaminya tampak murung, isteri pertamanya berusaha menghiburnya namun tak sanggup menghibur. Begitu pula isteri keduanya, senyumnya tak mampu mengubati kesedihannya. Lelaki itu cuba meninjau kebun buah-buahannya yang ditingkahi angin sepoi-sepoi, namun tetap tak kuasa mengghairahkan hidupnya.
Dalam kepala Abu Khaitsamah berkecamuk. Ada dorongan sangat besar yang terus membebani fikirannya. Bayangan teman-temannya yang berjihad makin membuat nafasnya terasa sesak. Tak terasa, air matanya mengalir deras. Esoknya, ia menghadapkan wajahnya ke arah gunung. Langkahnya terburu-buru ingin cepat sampai. Barangkali di sanalah ia akan menemukan setitik ketenangan. Namun di tengah perjalanan, ia bertemu dengan sahabat karibnya yang bekerja sebagai pedagang. Keduanya terlibat dialog. “Kau sudah tahu khabar pasukan muslim yang berangkat kemarin?” tanya temannya kepada Abu Khaitsamah. “Belum. Apa yang kau ketahui?” tanya Abu Khaitsamah. “Khabarnya mereka mengalami kesulitan.” “Kesulitan? Kesulitan apa? Jumlah mereka 30 ribu orang, lagi pula mereka kuat-kuat.” “Iya, tapi kenyataannya mereka lemah di perjalanan. Mereka kehabisan persediaan air. Sebahagian ternak mereka mati. Dan yang belum mati mereka sembelih, hingga tiap tunggangan diisi oleh 3 orang.” “Oh...Apa yang terjadi dengan mereka!” teriak Abu Khaitsamah emosi, membuat saudagar Arab itu terdiam seketika. Mendengar perkhabaran sahabatnya, tanpa basa-basi, Abu Khaitsamah langsung bergegas ke rumah dengan air mata yang berderai. Kini nuraninya terpanggil untuk segera bergabung dengan pasukan yang mengalami kesulitan itu. Ia tidak boleh berpangku tangan membiarkan teman-teman seperjuangannya yang bersusah-payah dalam misi yang mencabar ini. Tak ada senyum tersisa di raut mukanya, yang tampak hanyalah sorot mata yang tajam dan membara. Tiba di rumah, kedua-dua isterinya menyambut dengan wajah berbinar-binar dan kerinduan yang mendalam. Keduanya menghidangkan makanan lazat yang mampu membangkitkan selera dan segelas minuman segar.
Selanjutnya dapatkan Hidayah Oktober 2011 di pasaran...
Sunday, October 9, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment