SUBUH itu begitu biru. Syahdu menyusup lambat-lambat ke kalbu saya. Damai dan menyejukkan. Di depan saya, Kaabah begitu dekat, begitu mempesona. Saya terpegun mengenang mimpi saya tentang Baitullah semasa belajar di pondok dulu. Akhirnya, Kau panggil juga hamba menjadi tamuMu, ya Rabb. Mata saya berair menatap Kaabah suci itu. Kiblat solat sejagad umat itu menghempaskan batin saya ke dalam sehabis-habis kerinduan; rindu Rabb, rindu keluarga. “Ilahi, terimalah rinduku, rindu hamba pendosa ini.” Saya merasa di ambang keberantaraan; antara alam mimpi dan realiti melebur menjadi satu, antara imaginasi dan kenyataan berpadu. “Ya Allah, seandainya di sini ada keluargaku...” Saya pandangi lagi RumahNya yang tengah dikelilingi penziarah dari berbagai ras dan bangsa. Kiswahnya yang hitam, kaligrafi emas yang menghiasinya, dan Hajar Aswad yang menempel di dindingnya memanggil-manggil saya, “Kemari, Az, percepat langkahmu ke dekatku. Kebetulan tak terlalu ramai...” Maka, saya pancangkan niat di kalbu untuk tawaf kedua kalinya. Saya tak mahu kalah dengan burung-burung kecil yang juga terbang memutar-mutar di atas Kaabah. Syukur-syukur dapat juga mencium Hajar Aswad yang diingini ramai para penziarah. Langit berwarna biru tua. Matahari masih malu-malu menerbitkan sinarnya. Dan kaki saya pun sudah berdiri, menghadap Hajar Aswad, berbaur dengan jemaah lainnya. “Bismillahi wallahu akbar...” . Tubuh saya yang kecil dalam seketika sudah bergabung dengan saudara-saudara semuslim lainnya. Menzikir-zikir namaNya, menghiba-hiba cintaNya. Masing-masing bermunajat dengan doa-doa khusus. Begitu pula saya. Tak terasa, tubuh saya sudah merapat ke dinding Kaabah, terbawa arus manusia. Saya sudah berada di pusingan kedua dan bersiap memasuki tawaf pusingan ke tiga. Ketika itu, saya sudah berada antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, sebuah ruang yang juga masyhur tempat mustajab untuk berdoa. Mata saya terpejam dan hati saya sempat memohon, “Ya Allah, izinkan saya mencium Hajar Aswad-Mu.” Tiba-tiba, saat saya membuka mata, seorang lelaki Indonesia menegur-negur saya: “Haji, sudah cium Hajar Aswad?” Tentu saja, saya terkejut. Secepat itukah Allah mengkabulkan doa saya? Dalam keadaan setengah tak percaya, lelaki itu sudah membimbing saya memasuki desakan manusia yang berusaha keras ingin mencium Batu Hitam itu. Begitu cepat dan sigapnya, lelaki itu menghantarkan tubuh saya ke depan Hajar Aswad. Saya cium dalam-dalam lubang batu cadas yang katanya dari syurga itu. Lama sekali. Harum sekali. Lalu, setelah puas mengusapkan tangan kanan, saya putuskan keluar dari himpitan manusia. Lega. Batin saya lapang. Dan saya pun melanjutkan rangkaian tawaf saya. Namun, tiba-tiba, lelaki tadi memanggil-manggil saya. Ia merapat dekat ke tubuh saya. “Haji, tolong sedekahnya untuk bertahan hidup di Makkah, barang 100-200 riyal...” Saya terhenyak. Terkejut. Saya beristighfar. “Astaghfirullah. Bagaimana ini, ya Allah? Kenapa orang ini tidak tulus membantuku? Hikmah apa yang tengah kau ajarkan kepadaku?” Hati saya benar-benar ‘masyghul’. Saya pun akhirnya memberikannya wang 50 riyal sebagai sedekah yang saya mampu. Tapi ia tidak terima, ia merajuk meminta lebih. Saya tak dapat memenuhinya seraya berkata: “Tolong, jangan rosakkan ibadah saya. Bukankah ini rumah Allah?” Ia pun pergi dan air mata saya berderai-derai. “Apakah saya salah, Rabb? Ampuni saya, ya Rabb, bila peristiwa tadi mencederai ibadah saya? Beri saya kesempatan menebusnya, ya Allah.” Dilanda perasaan bersalah itu, saya lanjutkan pusingan tawaf. Tapi, hati saya masih sangat berkecamuk, terganggu dengan peristiwa di Hajar Aswad itu - yang kemudiannya saya tahu bahawa saya tidak sendirian, banyak jemaah lain yang juga terperdaya olehnya dan teman-temannya. Sejurus kemudian, saat saya di pusingan ke lima, saya sempatkan memejamkan mata untuk berdoa antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad kembali. “Ya, Allah beri saya kesempatan menebusnya...” Ajaib! Allah memang Maha Pengampun. Tak tersangka, di dekat saya, sudah ada seorang tua yang agak kelihatan uzur, tengah mengah-mengah, seperti meminta bantuan untuk dibimbing tangannya. Detik itu pula, saya tersedar. Barangkali inilah kiriman Allah itu. Barangkali inilah kesempatan saya untuk menebusnya, seorang lelaki tua yang dikirim Ilahi. Bentuk tubuhnya sedikit lebih kecil dari saya. Dari tanda pengenalan yang menggantung di lehernya, saya tahu ia berbangsa Iran. Tangannya yang lemah tiba-tiba sudah menggelayut di lengan saya. Saya lihat air mukanya, senyum simpul menghiasi bibirnya. Ada rasa bahagia memancar di wajahnya. Saya merasa kekuatan syahdu menjalar diam-diam ke seluruh tubuh saya. Dan kami pun tawaf bersama. Namun, saat saya hendak ke pusingan keenam, lelaki tua itu menghentikan langkah saya.
Selanjutnya dapatkan Hidayah November 2010 di pasaran...
Friday, November 5, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment