Friday, November 5, 2010

Mensyukuri 'Yang Tersisa' Dari Granada

Sari, wanita yang berasal dari Indonesia yang tinggal di Granada, Sepanyol itu hanya mampu mengelus dada. Dia mengaku sampai menangis kerana demikian rindu akan suasana Ramadan di tanah airnya. Dia merindu solat terawih, tadarus, waktu berbuka, sahur, acara tv sepanjang Ramadan dan banyak hal lain yang tak dapat dia dapati di Granada. Dia hanya terhibur dapat menyaksikan siaran tv Islam Sepanyol dengan menggnakan antena khasnya. Saat waktu sembahyang sunat Aidilfitri yang dilaksanakan di lapangan yang berhadapan dengan Al-Hambra dan pegunungan Sierra Nevada, ia juga merasa aneh karena hanya dia satu-satunya jemaah wanita yang memakai telekung sementara yang lain memakai jaket, gaun panjang, berkemeja dan bertudung, sekadar menutup aurat. “Kalau di Indonesia pasti semuanya memakai telekung putih,” ujar ibu kepada dua anak bernama lengkap Widasari Saraswati ini. Sari sudah empat tahun tinggal di Granada. Mulanya dia dan suaminya, Scott, saudara baru berasal dari Scotland, tinggal di Barcelona. Namun terdorong oleh keindahan dan sejarah besar Granada mereka memutuskan menetap di kota itu. Jauhnya jarak dengan tanah air membuat Sari mesti menyambut Aidilfitri tanpa ketupat dan rendangnya. Baru tahun lalu dia dapat sedikit melepas kerinduan setelah dapat merayakan Aidilfitri bersama warga Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), Madrid, Sepanyol. Tapi, sebagai muslimah, Sari yang mengisahkan pengalamannya ini di blog peribadinya tak dapat menyembunyikan keharuan dan ketakjubannya melihat Istana Al-Hambra, istana indah milik Kesultanan Nasrid, pemerintah Islam terakhir di Granada. Dia melihat bagaimana istana itu memang asal milik orang Islam kerana semua rekabentuknya menunjukkan hal itu. Apalagi di depan al-Hambra kini sudah ada sebuah masjid yang merupakan masjid terbesar di Granada (Mezquita de Granada) yang dirasmikan pada 10 Julai 2003 lalu yang dibina berkat bantuan kerajaan Libya, UEA, Malaysia, Morocco dan beberapa negara muslim lain. Tanah untuk masjid itu sudah dimiliki orang Islam sejak ratusan tahun. Mereka tutup mulut dan menjadikannya ladang bercucuk tanam. Jika pihak berkuasa mengetahui tanah itu untuk membina masjid, pasti sudah diambil alih. Pembangunannya pun berlangsung 21 tahun kerana izin yang sulit. Kematian penyumbang awalnya, Raja Hassan dari Morocco, juga turut memperpanjang masa pembangunannya. Sempat pula ditemukan peninggalan arkeologis disamping penolakan dari sebilangan warga Sepanyol yang tak menginginkan masjid itu didirikan. “Di bawah atap menara tertera tulisan kufi tentang ayat syahadah umat Islam iaitu ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah’. Alhamdulillah, akhirnya azan dapat kembali berkumandang di bumi Andalus ini,” ujar Sari bersyukur. Masjid yang menelan belanja 4 juta dollar itu seperti pelepas dahaga panjang kerana sejak dikuasai pemerintah Kristian sejak lima abad lalu tak ada sebuah masjid pun yang boleh berdiri di Granada. Masjid-masjid besar dan bersejarah sudah menjadi gereja termasuk yang berada di dekat Istana Al-Hambra. Taman Masjid Granada bertema Mediteranian dan ubinnya bergaya Andalus. Warna marmar masjid mengikuti warna Masjid al-Aqsha dan mihrabnya merupakan reka bentuk dari mihrab masjid bersejarah lain di Sepanyol, Masjid Cordoba. Kini azan terdengar di sana lima hari sekali seperti suara yang bangkit dari kubur. Mendendangkan kejayaan Islam masa lampau walau dengan suara perlahan.

Nostalgia dan Keharuan
Wajar saja Granada menerima “tempias” Islam paling besar. Daerah ini memang yang paling dekat dengan selat Gilbratar yang terkait dengan Thariq bin Ziyad, mujahid Islam dari abad ke-7. Dekat dengan Gilbratar sudah tentu dekat dengan Morocco. Negara Maghribi di Afrika Utara ini adalah negara Islam dari zaman para sahabat r.a. sampai sekarang. Thariq adalah awal sejarahnya dan Sultan Muhammad XII, Abu Abdullah, yang dicatat dengan nama Boabdil oleh ahli sejarah Eropah adalah yang akhir. Thariq datang pada tahun 711 dengan drama pembakaran kapal pertanda puncak jihad dan Boabdil alias Abu Abdullah berlinang air matanya saat menyerahkan kunci Istana Al-Hambra sebagai penyataaan takluk kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella pada 1492. Thariq mengawali kisah bumi Andalus sampai tahun 1031. Waktu itu, wilayah Islam sangat luas di Sepanyol, menyentuh Malaga, Valencia bahkan Madrid yang kini menjadi ibu kota Sepanyol. Di luar nama Toledo, Sevilla dan Cordoba yang berwarna Islam pekat dalam sejarah. Dua abad kemudian Cordoba (1236 M) dan Sevilla (1248 M) jatuh ke kekuatan Katolik menyusul Toledo yang takluk terlebih dahulu pada 1085. Terjadilah penghijrahan muslim besar-besaran ke Granada yang saat itu dipimpin Mohamad bin Yusuf bin Nasr, pemimpin Kesultanan Nasrid. Granada tak tersentuh tangan musuh dan terus berjaya selama 250 tahun, menjadi salah satu kota indah dan terkaya di Eropah.

Selanjutnya dapatkan Hidayah November 2010 di pasaran...

No comments: