Monday, November 12, 2012

Berkongsi Derita Dengan Muslim Rohingya

LEBIH beberapa bulan lalu kita seperti terkena ‘bom’ dengan berita mengenai muslim Rohingya yang menghuni di wilayah Rakhine (Arakan) di Myanmar. Bahkan beredar beberapa foto yang menggambarkan mereka dibunuh secara kejam baik oleh tentera Myanmar mahupun etnik Budha Arakan. Kekejaman atas muslim Rohingya tersebar melalui media sosial dan disebut sudah menyebabkan keheningan di dunia maya. Di Indonesia sudah berdiri PIARA (Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan) yang didirikan atas inisiatif aktivis hukum dari PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) yang berpejabat di Pasar Rebo, Jakarta Timur. PIARA berusaha mengumpul bantuan untuk warga muslim Rohingya. Laporan mengenai keadaan muslim Rohingya memang sangat memprihatinkan. Kekerasan yang terjadi mulai bulan Jun lalu itu telah merebak menjadi tindakan pemerintah Myanmar secara tersusun dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Diberitakan, polis dan tentera Myanmar memperkosa, merompak, menyeksa dan membunuh orang-orang Rohingya secara sewenang-wenangnya. Sebahagian besar lagi muslim Rohingya ditangkap dan disumbat di kem-kem penahanan tanpa makanan dan perubatan.
Warga muslim Rohingya yang tertumpu di wilayah Rakhine itu terbiar dan tak mendapatkan bantuan apa-apapun. Mereka disekat dari dunia luar. Kerajaan Myanmar menyekat bantuan dan melarang sesiapapun masuk wilayah Rakhine. Hanya ada jalan melalui laut, tapi itu juga dijaga. Situasi jadi mirip dengan Gaza di Palestin yang terasing dari dunia. Tidak berlebihan jika dengan keadaan itu kerajaan Myanmar sepertinya memang ingin muslim Rohingya musnah perlahan-lahan. Hal ini bukan berlebihan. Hasrat tertinggi negara yang diperintah junta tentera itu, Presiden Thein Sein, bahkan menyebut muslim Rohingya sebaiknya dipindahkan saja ke negara lain. “Pindahkan saja mereka ke negara lain,” ujar Sein. Pernyataan ini sungguh menyakitkan. Muslim Rohingya sudah hidup di Arakan beratus tahun lamanya.
Inilah yang membuat Amnesty International, pertubuhan Hak Asasi Manusia antara bangsa, menyebut keadaan muslim Rohingya sangat darurat. Bagaimana tidak. Kekerasan dan pembunuhan terjadi dimana-mana dan pemerintah seperti merestuinya. Kolumnis Amerika Syarikat berdarah Palestin, Ramzy Baroud, menyatakan Rohingya saat ini sedang melalui episod paling malang dalam sejarah mereka. Apa yang mereka alami merupakan yang paling pedih dibandingkan berbagai masalah lain di dunia. Namun kisah penderitaan mereka seperti tak menjadi keutamaan dunia untuk diselesaikan. Baroud menyebut ini sangat mencurigakan dan ini ada kaitan penguasaan alam yang dihuni muslim Rohingya yang berlimpah seperti; hidrokarbon, mineral, permata, dan kayu. Sudah lazim diketahui, Myanmar adalah negeri miskin yang kekayaan alamnya diangkut dan dikuasai para kapitalis dari Barat.

Insiden Bas
Tragedi ini sendiri bermula insiden pada 3 Jun 2012. Segerombolan kelompok ekstrim Rakhines yang sebahagian besar penganut Buddha, menyerang sebuah bas penumpang yang mengangkut muslim Rohingya. 10 warga maut dalam insiden ini. Setelah inilah kerusuhan merebak kerana ada tindakan balas dari komuniti muslim Rohingya. Baroud menyatakan dalam rencana di ruang peribadinya, sejak tarikh 10 hingga 28 Jun 2012, sudah 650 Muslim Rohingya terbunuh, 1,200 hilang, dan lebih dari 80,000 orang lainnya menjadi pelarian akibat kerusuhan dan pembakaran. Kengerian terakhir yang ia catat adalah tarikh 13 Julai lalu saat sebuah helikopter tentera Myanmar membakar 3 perahu yang membawa 50 orang Rohingya yang berusaha melarikan diri. Semua penumpang perahu terbunuh. Baroud mengecam kelompok-kelompok pro-demokrasi Myanmar, khususnya Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi atas sikap berdiam diri mereka terhadap pembunuhan beramai-ramai terhadap warga muslim Rohingya. Baroud menilai kekerasan dan kezaliman yang dihadapi minoriti muslim Myanmar yang berjumlah 800 ribu orang itu terjadi ketika Amerika Syarikat dan Inggeris menghentikan kempen pro-demokrasi mereka melawan kerajaan junta tentera Myanmar. Ini diparahkan dengan tindakan membisu media antarabangsa yang seperti tak peduli dengan tragedi itu. Tak ada berita, tak ada khabar, hingga maklumat Rohingya sebahagian besar diperoleh melaui media-media bebas dan media sosial. “Media antarabangsa mematikan lampu, black out, hingga tak tampak apapun,” ujar Baroud.

Selanjutnya dapatkan Hidayah November 2012 di pasaran...

No comments: