Thursday, February 7, 2013

Kisah Nabi Ismail a.s: Sejarah Di Balik Perintah Korban

SAAT itu Ismail a.s. mulai beranjak dewasa. Setangkup kebahagiaan perlahan menumbuhkan setitik harapan bagi Nabi Ibrahim a.s. Sebab kelak Ismail boleh diharapkan jadi penerus perjuangannya. Tapi, di tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba Nabi Ibrahim dikoyak rasa duka. Dia, yang sangat mencintai Ismail, dipaksa melepaskan kebahagiaan itu setelah menjumpai sebuah mimpi yang mengejutkan. Mimpi yang membuatnya nyaris terguncang, serasa di persimpangan jalan. Ketika sedang tidur, tiba-tiba, Nabi Ibrahim dikejutkan dengan turunnya sebuah wahyu, “Wahai Ibrahim, taruhlah sebilah pisau di leher anakmu dan sembelihkan ia dengan tanganmu sendiri.” Saat bangun dari tidur, hamba Allah yang setia dan pendakwah terkemuka dalam sejarah umat manusia itu pun goyah. Seakan hendak roboh. Tokoh besar yang berjaya berdakwah pada zamannya itu dihadapkan pada ujian berat. Setelah seratus tahun diangkat menjadi Nabi, hidup sebagai pemimpin juga berjuang melawan kaumnya yang fanatik menyembah berhala, melawan kaum penindas dan bahkan penguasa zalim (Namrud), tetapi dapat meraih kemenangan dan juga berhasil melakukan segala tanggung jawab, kini justeru dilanda bimbang. Dalam hati, tebersit pertanyaan apa dia harus mengikuti jeritan hati dan menyelamatkan Ismail atau mengikuti perintah Allah mengorbankan Ismail? Seketika itu, dua pilihan itu sulit dijawab. Sebab sudah lama dia merindukan kehadiran buah hati, tapi saat buah hati itu sudah beranjak dewasa (remaja) dan dia mencintainya, kini justeru diminta untuk dikorbankan. Namun, pada sisi lain, Nabi Ibrahim tidak menepis mimpi itu adalah perintah Allah. Itu adalah kebenaran. Maka dada Nabi Ibrahim berkecamuk. Seandainya, Allah memintanya untuk mengorbankan dirinya sendiri, bukan anak yang dia cintai, tentunya mudah menentukan pilihan. Tetapi, Allah memerintahkan dirinya mengorbankan Ismail, bukan dirinya sendiri. Itu yang membuat Nabi Ibrahim dilingkupi perasaan berat menentukan pilihan.

Kelahiran Ismail
Dulu, sebelum Ismail lahir, hati Nabi Ibrahim diresap rindu. Apalagi setelah tahun-tahun perjuangan telah berlalu. Sudah seabad, Nabi Ibrahim berjuang menumbangkan kejahiliyahan nenek moyang, fanatik kaumnya - yang menyembah berhala -, hingga melawan kekuasaan sang penindas, Namrud, yang angkuh tapi akhirnya dia selamat dari kobaran api yang panas. Misi agung Nabi Ibrahim nyaris telah tertunaikan. Dia juga telah “menyerukan” risalah tauhid (moneteisme) di tengah sistem sosial yang zalim dengan gemilang. Tapi di hujung usia Ibrahim yang sudah mulai menua itu, ternyata ia belum diberi anugerah keturunan. Tak aneh, dia pun resah dan gelisah. Padahal, misi agung kenabian perlu penerus, dan “harapan” itu nyaris jauh dari kenyataan, kerana isterinya (Sarah) mandul (tidak subur) dan Nabi Ibrahim sudah uzur. Sementara, Nabi Ibrahim tak menemukan seorang pun yang dapat diharapkan sebagai penerus, kecuali Nabi Luth a.s. Kerana itulah, Nabi Ibrahim gelisah. Cemas dan resah. Sebagai manusia, dia ingin memiliki anak untuk membuatnya bahagia. Maka, dia pun berharap boleh mendapatkan keturunan. Dan, hanya kepada Allah ia berharap. Tidak sedikit pun hendak berputus asa. Dia masih memiliki setangkup harapan. Maka, dengan khusuk dia berdoa, memohon agar diberi keturunan, “Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang termasuk orang-orang yang salih.” (QS. Ash-Shaaffat: 100).

Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2013 di pasaran...

No comments: