Monday, November 9, 2009

Kisah Di Balik Perubahan Arah Kiblat

SETELAH sekitar tujuh belas bulan sejak kedatangan Rasulullah di kota Madinah di tengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani, Nabi s.a.w. diminta Allah untuk menjadikan Kaabah sebagai kiblat. Pemindahan arah kiblat itu, terutama sekali untuk memberi pengertian bahawa dalam ibadah solat sebenarnya bukan arah Baitul Maqdis dan Kaabah itu yang menjadi tujuan, tapi menghadapkan diri kepada Allah. Untuk mempersatukan umat Islam dari hati orang-orang yang perlu diuji itulah Allah s.w.t. menjadikan Kaabah sebagai kiblat. Masjidil Aqsa boleh disebut kiblat pertama bagi umat Islam. Tapi ada secuil ketidaktaatan orang Yahudi yang harus diuji, dan kerana itulah datang perintah dari Allah yang meminta Nabi s.a.w. untuk berkiblat ke Masjidil Haram. Semulanya, umat Islam menghadapkan diri ke arah Masjidil Aqsa. Hal itu terjadi pada awal ketika Rasulullah dan umat Islam berada di Madinah. Peristiwa itu jika dianalisa mungkin agak aneh, kerana menurut catatan sejarah, Masjidil Haram di kota Makkah itu lebih tua umurnya dari Masjidil Aqsa. Tentu, di balik ketetapan yang telah diputuskan Allah itu bukan sembarang ketetapan kerana dengan tiba-tiba dan tanpa diduga, Allah meminta kepada Nabi s.a.w. untuk berkiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram. Sebenarnya, ada apa di balik kisah perubahan arah kiblat itu?

Turun Wahyu
Siang itu, panas seperti memanggang bumi. Pasir berhamburan diterpa angin yang berhembus kencang. Tetapi, di dalam Masjid Qiblatain, suasana panas siang itu seperti tidak terasa. Rasulullah tengah khusyuk dalam solatnya, mengimami solat zuhur (pada riwayat yang lain disebutkan solat asar) bersama para sahabat di Masjid Qiblatain.
Dua rakaat sudah berlangsung. Nabi s.a.w. dan jemaah dibuai rasa kekhusyukan. Tapi di luar dugaan, tiba-tiba turun wahyu dari Allah (Al-Baqarah: 144) yang memerintahkan kepada Nabi s.a.w. untuk mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsa di Palestin (Utara) ke Kaabah di Masjdil Haram di Makkah (Selatan). Wahyu Allah itu berbunyi: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahawa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya: dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 144) Sewaktu wahyu Allah itu turun, solat yang didirikan Nabi s.a.w. telah berlangsung dua rakaat. Tapi, begitu mendengar wahyu Allah itu turun, Nabi s.a.w. dan para sahabat dengan serta merta berbalik arah seratus lapan puluh darjah dari arah Masjidil Aqsa ke arah Masjidil Haram. Mulanya, solat Nabi s.a.w. dan para sahabat itu menghadap Utara, kemudian berbalik ke arah Selatan. Meski solat yang didirikan Nabi s.a.w. dan para makmum itu sudah berlangsung dua rakaat, tetapi Nabi s.a.w. itu tidak membatalkan solat. Nabi s.a.w. juga tidak mengulang solat tersebut dari awal, melainkan terus melanjutkan solat untuk rakaat ketiga. Wahyu Allah itu turun seperti menjawab harapan Rasulullah yang memang sudah lama mengharapkan perpindahan kiblat dari arah Masjidil Aqsa ke arah Masjidil Haram.

Menuai Protes
Rupanya, perubahan arah kiblat dari Masjidil Haram yang telah ditetapkan Allah setelah tujuh belas bulan (pada bulan Rejab sejak kedatangan Nabi s.a.w. di Madinah) itu mengundang protes kalangan kaum Yahudi. Beberapa hari setelah perubahan itu, sekelompok Yahudi mendatangi Nabi s.a.w. Di hadapan Nabi s.a.w., sekelompok Yahudi itu – yang dapat dikata sebagai orang-orang dungu kerana tak memahami perubahan kiblat – bertanya dengan nada protes. “Hai Muhammad, apa yang membuat kau mengubah kiblat yang lama (yakni Masjidil Aqsa yang terdapat di Palestin), padahal engkau juga mengatakan menganut kepercayaan dan agama Nabi Ibrahim? Kembalilah ke kiblat semula, tentunya kami akan memercayai dan mengikuti tuan!” Protes orang-orang Yahudi itu tidak membuat Nabi s.a.w. terkejut. Terkait dengan ungkapan yang dikatakan orang-orang Yahudi bahawa Rasulullah menganut kepercayaan dan agama Nabi Ibrahim itu, pada suatu hari Rasulullah pernah mendatangi sebuah rumah, di mana dalam rumah tersebut ada sejumlah orang Yahudi yang sedang membincangkan kitab suci mereka, yakni Taurat. Kemudian Nabi s.a.w. mengajak mereka semua untuk kembali kepada kebenaran Allah, agama Islam. Tetapi, salah seseorang di antara mereka kemudian bertanya, “Hai Muhammad, sebenarnya tuan memeluk agama apa?” “Agama Nabi Ibrahim,” jawab Rasulullah. Orang Yahudi itu kemudian menegaskan, “Bukankah Nabi Ibrahim itu sebenarnya Yahudi?” Nabi s.a.w. seketika mengajak mereka untuk mencari pembuktian akan kebenaran hal tersebut di dalam Taurat. Tapi, mereka menolak dengan bongkak dan sombongnya. Mengenai kejadian tersebut, al-Quran dengan jelas mengungkapkan, “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah ehwal Ibrahim padahal Taurat dan Injil tak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berfikir? Beginilah kamu! Kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tak mengetahui. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang muasyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 65 -68). Tapi kaum Yahudi memang suka membantah. Tak terkecuali dengan protes yang diajukan mereka kepada Rasulullah terkait perubahan arah Kiblat. Permintaan kaum Yahudi untuk kembali ke kiblat semula (yakni: Masjidil Aqsa) itu sebenarnya tak ada tujuan lain kecuali untuk mengelabui Nabi s.a.w. Niat jahat kaum Yahudi itu diketahui Rasulullah lantaran Allah menurunkan wahyu sehingga Nabi s.a.w. boleh menjawab dengan mudah, “Timur dan Barat adalah milik Allah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 142). Bujuk rayu kaum Yahudi itu juga diungkapkan Allah dengan secara jelas dalam ayat selanjutnya, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang), melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Baqarah: 143).

Ikuti selanjutnya di dalam Hidayah November 2009...

No comments: