MENATAP bayi adalah mengharapkan masa depannya. Makhluk comel inilah lambang optimis dunia: bahawa Tuhan sentiasa menaburkan rahmatnya atas kehidupan umat manusia di muka bumi - yang acapkali merosak diri mereka sendiri dan mengkhianati cintaNya; bahawa dunia masih boleh dijadikan tempat untuk manusia menabung harapannya, pencerahan, dan segugus kebaikan. Maka tidakkah hati menjadi perih dan pedih apabila melihat seorang ibu yang dengan sengaja membunuh anak kandungnya? Sedemikian jelekkah budi pekerti manusia.
Sebuah media, pernah menulis sebagai berikut: Tati (25 tahun), seorang amah berasal dari Banten, menghabisi nyawa bayi yang dilahirkannya dengan memasukkan si bayi ke dalam kotak. Dia mengaku tidak tahu apakah bayi yang dilahirkannya itu masih hidup atau sudah mati. Sebabnya, begitu keluar dari rahimnya, bayi malang itu lansung dibungkus dan dimasukkan ke dalam kotak untuk disimpan di dalam gudang. (lihat www.liputan6.com/29/01/06). Sementara di lain media diberitakan begini: Seorang ibu di daerah Surabaya menekup mulut dan hidung bayinya yang baru lahir dengan sehelai kain begitu sadisnya. (lihat www.indosiar.com/27/06/07) Bukan hanya seorang ibu yang sadis, si ayah pun terkadang lebih kejam. Bapa yang seharusnya menjadi contoh teladan seringkali menjadi ‘syaitan’ untuk anaknya. Perkaranya beragam: mulai dari ayah memperkosa anak dara suntinya, ayah menjual anak perempuannya, hingga ayah memaksa anak perempuannya menjadi pelacur di usia belia. Namun, untuk lebih menyakinkan, mari saya petikkan satu laporan di sebuah media: Muslim [43 tahun], seorang guru mengaji di daerah Batam, telah menggauli anak perempuannya sejak kanak-kanak itu bersekolah Tingkatan satu. Hasil, ketika anak perempuannya hamil enam bulan, peristiwa biadab itu terbongkar. Para tetangga curiga, anak perempuan berterus terang berkisah, dan si ayah tak mampu lagi berselindung. Muslim pun menerima hukuman sewajarnya. Demikianlah, anak-anak, lilin-lilin kehidupan itu, tiba-tiba redup cahayanya sebelum sempat menjadi obor masa depan. Yang memadamkan itu bukan alam, bukan juga segerombolan penjenayah, melainkan keluarga sendiri atas motif dan dalih yang bermacam-macam; kemiskinan, gejolak berahi, dan lain-lainnya. Ironisnya, tidak hanya masa bawah lima tahun si anak yang direnggut, namun juga peringkat remajanya. Kaum bapa seringkali menorehkan kekerasan fizik dan psikologi ke dalam memori anak atas nama bahawa; ‘kamilah, orang tua yang lebih berpengalaman, yang lebih mengerti persoalan, yang lebih dulu hidup dan makan asam garam kehidupan.’ Tidak hairan, sejumlah kisah muda mudi yang terjerat dengan dadah, yang bergelumang hidup di dunia malam, yang memilih lingkungan durjana acap kali kita dengar. Melihat anak adalah menggarami mimpi-mimpi indah di suatu zaman, di masa depan kelak. Maka membunuh, memperkosa, menyakiti dan melukainya bererti memusnahkan mimpi-mimpi itu, memusnahkan harapan dan mengoyak masa depan itu. Yang paling merugi, tentu saja, bukan hanya si anak, tapi juga si orang tua itu sendiri. Bukankah tak sedikit kita dengar cerita anak yang mulanya dianggap penghambat ekonomi keluarga, kelak membawa berkah tiada tara bagi keluargnya? Tak jarang pula kita dengar khabar tentang anak yang diduga membawa musibah justeru menjadi anugerah. Kerana itu, untuk pasangan suami isteri yang memiliki anak-anak kecil dan kemudian melempiaskan emosinya kepada si anak, haruslah berhati-hati. Ia boleh menjadi ‘bom’ untuk anda. Belajarlah memahami dan mengerti dunia anak dengan pola pemikiran dan perasaan si anak, bukan sebaliknya. Janganlah menempatkan cakrawala dan dunia dewasa anda di benak mereka yang masih muda dan berbeda. Mereka punya horizon tersendiri, bahasa benak sendiri dan daya khayalan sendiri yang anda, sebagai orang tua, bertugas sebagai sahabat sebenarnya untuk memperkaya dan mengembangkannya. Pada titik ini, sungguh tepat bila Kahlil Gibran, penyair tersohor dari Lebanon berpuisi: “Anakmu bukanlah milikmu. Mereka putera-puteri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri...” Anak menjadi orang hebat atau jahat itu berawal dari ibu bapa. Ia menjadi impian atau kutukan berawal dari keluarga. Bahkan, sejak di dalam kandungan atau berupa janin, bakal anak ‘anugerah’ atau anak ‘musibah’, anak salih atau tidak salih itu boleh ditilik dari cara ibu bapa mendidiknya. Dapat dilihat dari model si ibu atau si bapa yang mengasuhnya, yang memperlakukannya. Sebagi contoh, saya sendiri pernah menemukan kes seorang ibu bernama Siti [35 tahun], peniaga nasi dimana saya sering berlanggan, bersama ketiga anak perempuannya yang masih kecil-kecil begitu larut dan asyik menyaksikan drama yang tidak mendidik yang ditayangkan sebuah tv swasta. Saya kira, ibu Siti tidak sendiri. Banyak ibu-ibu lainnya di negeri ini yang memang melakukan ‘ritual’ seperti itu. Lalu, apakah laku dan model asuhan ibu-ibu demikian yang mampu melahirkan putera puteri zaman yang salih dan salihah? Seribu doa yang dipanjatkan orang tua - agar anak-anaknya salih dan berjaya - itu akan berpengaruh bila model ‘ritual’ menonton drama bersama di atas menjadi amalan bersama keluarga. Maka itulah, doa di atas atau barangkali doa serupa itu dipohonkan kepada Allah, sebagai ibu bapa, terlebih dulu hendaklah menilik diri sendiri: apakah sudah tepat cara anda memperlakukan si anak sejak ia masih bersemayam di dalam kandungan? Riwayat doa di atas sendiri hakikatnya mengajarkan hal ehwal demikian. Inilah doa yang sentiasa dipanjatkan isteri ‘Imran demi mengharapkan anak yang salih, anak yang bertakwa. Ia bernazar kepada Allah dengan hati yang teguh dan niat yang penuh untuk memberi pendidikan terbaik dan asuhan terbagus bila kelak mendapatkan keturunan. Ia bahkan berjanji akan mendidiknya waktunya untuk beribadah demi si anak yang dikandungnya.
Selanjutnya dapatkan Hidayah Julai 2010 di pasaran...
Sunday, July 11, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment