INGAT Khaled Meshaal, pemimpin biro politik Hamas, otomatik akan mengingat Damascus, yang sedang mengasingkan diri di sini kerana berseteru dan dijadikan target utama pembunuhan oleh pemerintah Israel, musuh bangsa Palestin. Bagi para pembelajar sejarah Islam, kota ini diingat sebagai ibu kota dari Bani Umayyah yang membawakan kemajuan dan kejayaan kekhalifahan Islam di saat Eropah masih dalam keadaan abad kegelapan.
Sementara bagi pembaca Perang Salib, ia mengingatkan pada pahlawan Islam Sultan Salahuddin Al Ayyubi yang perkasa dan arif. Namun sebenarnya, hal di atas itu baru sejemput kecil dari begitu banyaknya zamrud kebudayaan yang mengisi kota ini. Begitu pula lilitan tragedi yang menerpanya, yang seiring perjalanan waktu kemudian mengendap menjadi aneka mitologi yang memperteguh keberadaan Damascus.
SEPOTONG KAWASAN BERTUTUR BANYAK HAL
Damascus, dalam bahasa Arab disebut Dimashq ash Syam, sering disingkat dengan sebutan Dimashq atau Asy-Syam (ertinya: utara), sedangkan untuk menyebut Syria secara keseluruhan adalah Bilad Asy-Syam atau Negeri Utara. Sementara ahli menyebut Damascus berasal dari bahasa Aramic kuno Darmeoeeq yang bererti “sebuah tempat yang berpengairan sempurna”, mengingat Damascus dibelah oleh Sungai Barada dan sebuah oasis besar bernama Ghouta. Pola pengairan melewati terowongan dengan memanfaatkan sungai dan oasis tersebut sudah dilakukan semasa pemerintahan Aramic, yang kemudian diteruskan oleh penguasa Rom, Islam, dan sebahagian masih dipakai hingga sekarang ini. Masih ada pula pendapat bahawa asal kota ini bernama Dameoeeq, terambil dari kata Ibrani pada era pra-Aramic. Kota Damascus dibangun dan menjadi sebahagian dari Provinsi Amurru dalam Kerajaan Hyksos (1720 – 1570 SM). Beberapa nama besar yang pernah menguasainya adalah Nebukhadnezzar, penguasa Babylon pada 572 SM, yang berakhir pada 538 kerana serbuan Cyrus, lalu Aleksander Agung hingga runtuhnya penguasaan setelah kematian Alexander pada 323 SM. Penguasa Rom menganeksasinya pada 64 SM. Khalifah Umar Al-Khattab r.a. menaklukkan Damascus pada 636 M, dan semakin bersinar gemerlap setelah dinasti Umayyah menjadikan Islam yang membentang dari Sepanyol di Barat hingga India di sebelah timur (661 – 750 M). Sultan Salahuddin Al Ayyubi menegakkan kembali kecemerlangan Damascus sebagai kota yang melindungi aktiviti intelektual di sela-sela serbuan tentera Salib dari Eropah (1096 – 1191). Namun penguasa keturunan Mongol dari Samarkand, yakni Timurlane, meluluh lantakkannya pada tahun 1400. Damascus akhirnya menjadi salah satu provinsi penguasa Ottoman Turki hingga ke masa moden, hingga direbutnya kembali kawasan ini oleh suku-suku Arab berkat bantuan penjajah Barat, yakni Inggeris dan Perancis. Kota ini terhampar sekitar 80 km² sebelah timur Laut Mediteranean dan dilingkupi oleh Pergunungan Lebanon, dengan topografi setinggi 680 meter dpl. Sebagaimana kota lainnya, secara pusat Damaskus berpusat di satu kawasan yang kini dikenal sebagai Damaskus Lama (Old Damascus), dan melebar seiring perkembang kota. Old Damascus merupakan kota dikelilingi benteng yang membentang di sebelah selatan Sungai Barada. Dari noktah kecil berupa benteng ini, berbagai warisan budaya ditempelkan budaya barat Rom (Romawi) menyisakan sebuah jambatan (dari tujuh jambatan yang menghubungkan benteng dengan wilayah di luar benteng), yakni jambatan bahagian timur yang kini disebut Bab Sharqi. Terdapat pula jambatan bernama Bab Touma atau Jambatan Thomas, di sudut timur laut yang mengarah menuju permukiman kaum Kristian. Sementara Bab Kisan di sisi tenggara yang kini sudah ditutup, dipercayai sebagai tempat lolosnya Saint Paul, salah seorang pewarta Injil, dari Damascus dengan masuk keranjang dan melewati dinding benteng yang paling rendah. Dari nama-nama jambatan itu, terlihat perasaan yang mewakili suasana yang sedang, pernah terjadi atau diharapkan terjadi. Misalnya, Bab Al-Faraj atau jambatan Kebebasan; Bab Al-Faradis, atau Jambatan Syurga; Bab Al-Salam, atau Jambatan Perdamaian. Lalu, sebuah kawasan di sebelah barat laut dan timur laut benteng (kurang-lebih 3 km dari pusat), bermukim keturunan dari para tentera Kurdis muslim di masa Perang Salib dan keturunan pelarian Muslim dari kawasan Eropah Timur yang telah terusir akibat serbuan penguasa Kristian. Di situ juga terletak makam seorang sufi terkenal Muhyidin Ibnu Arabi. Sementara di kawasan Yarmouk, sebelah utara Sungai Barada sekarang ini, pemerintah Syria menyediakan buat ribuan pelarian Palestin yang terusir dari tanah airnya. Adapun kesan sejarah yang paling terkenal berdiri di jantung kota tua adalah Masjid Umayyah. Sebuah tempat yang sampai kini masih berdiri kukuh dan dipakai sebagai tempat beribadah sehari-hari. Masjid Umayyah adalah salah satu karya senibina hebat yang gaungnya bahkan menggema hingga saat ini.
DAMSYIK DI MASA KINI
Kini, Damascus sudah menjadi kota moden yang tiada beza dengan kota lain. Sebagai ibukota negara yang berpenduduk 4.5 juta, dan dibawah pemerintahan penuh Parti Sosialis Baath, kawasan subur telah tumbuh, namun tanpa melenyapkan tempat-tempat bersejarah yang begitu kaya. Warisan kekayaan kebudayaan Damascus telah menyumbang sekian banyak warisan peradaban dunia, yang sebahagiannya telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan kekayaan dunia. Kemodenan yang berpadu dengan akar budaya sangat tergambar di kota Damascus (Damsyik), berupa bangunan Arab yang bersentuhan dengan budaya Barat, kedai-kedai tradisional di pasar-pasar tradisional dengan segenap keramahan khas Arab. Pasar itu antara lain Souq al-Hamidiyeh, Souq Midhat Pasha, Souq al-Harir, souq Al-Bzourieh, yang dibangun pada abad ke – 18 – 19 dan masih berlangsung hingga saat ini.
Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2011 di pasaran...
Wednesday, February 9, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment