Wednesday, February 9, 2011

Murid Setia Sunan Kalijaga

NAMA asalnya adalah Raden Mas Cokrojoyo atau ‘Pangeran Bunnabrang’. Ketika masih kecil hingga dewasa, Ki Cokrojoyo dikenal sebagai tukang peras air nira kelapa yang kemudian diolahnya menjadi gula. Anehnya, sebelum memanjat pohon nira, ia selalu menembangkan lagu ‘Kelontang-kelantung, wong nderes buntute bumbung, apa gelem apa ora?’ (Kelontang-kelantung, orang tukang peras, ekornya bumbung/bambu, apa mahu apa tidak?). Lagu ini kononnya sebagai ‘jampi’ untuk mendapatkan nira yang lebih banyak. Memeras air nira dilakukan oleh Ki Cokrojoyo kerana latar belakang keluarganya yang miskin. Dia tinggal di tengah hutan, di kampung Bedhug, Tanah Bagelen (sekarang telah menjadi daerah Bagelen, wilayah Purworejo), berada di bantaran aliran Sungai Watukura/Bagawanta. Dikatakan kerana miskinnya, dia juga dipanggil “Ki Petungmelarat”. Meskipun demikian, orang mengenalnya sebagai seorang yang kuat bertarikat hingga menjadi luhur budinya dan “sakti” ilmunya. Kerananya, Ki Cokrojoyo di-”tua”-kan di wilayahnya. Dalam paparan buku Sunan Geseng: Mubaligh Tanah Bagelen karya Radix Penadi disebutkan bahawa ketika suatu hari Ki Cokrojoyo akan memanjat pohon nira dan siap dengan jampi-jampinya, datanglah seorang yang perwatakannya kelihatan alim menghampirinya. “Kenapa setiap kali kau memanjat batang nira selalu mengucapkan kalimat tadi?”
“Itulah ‘jampi’ agar hasilnya melimpah,” jawab Ki Cokrojoyo. “Ah, tapi yang kau ucapkan itu salah dan kurang tepat”. “Salah dan kurang tepat? Tuan rupanya belum kenal aku. Akulah Ki Cokrojoyo, tukang ambil air nira yang aku lakukan sejak kecil. Itu merupakan ilmu warisan keturunanku dan jampi-jampi itupun bukan sembarang jampi!” “Betul kata-katamu. Tapi aku ada jampi yang lebih unggul, yang akan boleh menghasilkan lebih banyak dari jampimu itu,” kata lelaki alim tersebut dengan penuh yakin. “Buktikanlah!” pinta Cokrojoyo. “Baiklah, izinkanlah aku melihat caramu mengolah air nira itu.” Ki Cokrojoyo lalu mengajak lelaki tadi ke rumahnya dan mengajarinya. Si tetamu kemudian mengambil gula nira tersebut. Gula itu diserahkan pada Ki Cokrojoyo seraya berpesan agar jangan dibuka sebelum dirinya keluar dari kampung Bedhug. Setelah lelaki itu keluar dari kampungnya, Ki Cokrojoyo segera membuka gula tersebut. Matanya terbelalak kerana isinya bukan lagi gula, melainkan segenggam emas yang berkilauan. Ki Cokrojoyo tersedar bahawa tamunya tadi bukanlah orang sembarangan. Diapun mengejar lelaki tersbeut. Dia akhirnya berhasil juga mengejar dan menemukan lelaki misteri itu, yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga, salah seorang Wali Songo yang termasyhur di kalangan rakyat jelata.
Dorongan dari rasa ghairahnya itu, Ki Cokrojoyo minta diajarkan “bacaan jampi” dengan bersedia menjadi muridnya. Sunan Kalijaga kemudian mengajarkan kalimat syahadat. Sejak saat itu, Cokrojoyo selalu diajak Sunan Kalijaga mengembara dari satu daerah ke daerah lain sambil menyebarkan dakwah Islam.

Digelari Sunan Geseng
Sunan Geseng adalah murid yang sangat patuh dan setia terhadap semua perintah Sunan Kalijaga. Pada suatu hari, Sunan Kalijaga ingin menguji kesetiaan Sunan Geseng dengan ujian yang cukup berat. Sunan Geseng yang waktu itu masih bernama Ki Cokrojoyo diminta untuk menjaga dan memegangi tongkat yang ditancapkan di sebuah bukit di wilayah Bagelen. Sunan Kalijaga berpesan agar Ki Cokrojoyo tidak meninggalkan tempat itu sampai dia kembali. Ki Cokrojoyo duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat yang ditinggalkan Sunan Kalijaga. Hujan, panas, dingin dan ancaman binatang buas selama menunggui tongkat gurunya tak sejengkal pun membuat Ki Cokrojoyo bergerak dari tempat duduknya. Ia tetap tak berganjak dari tempat duduknya, meski hanya sesaat. Hari demi hari, bulan terus berganti, tahun demi tahun tak terasa Ki Cokrojoyo telah duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat gurunya selama ‘7 tahun’. Setelah 7 tahun itulah Sunan Kalijaga kembali ke tempat itu untuk menemui muridnya, Ki Cokrojoyo. Namun, apa yang terjadi di luar dugaan? Muridnya tak terlihat lagi di tempat itu. Bukti tempat di mana Ki Cokrojoyo memegangi dan menjaga tongkat Sunan Kalijaga sudah berubah menjadi sebuah hutan yang sangat lebat. Sunan Kalijaga dengan keadaan terpaksa membakar tempat itu untuk mengetahui tempat si murid yang ditinggalkan sendirian selama ‘7 tahun’ tersebut. Dengan keadaan hutan yang sangat menyeramkan, hati Sunan Kalijaga tak yakin apakah Ki Cokrojoyo masih bertahan di tempat itu. Setelah tiga perempat bahagian hutan itu habis terbakar, di sanalah kelihatan Ki Cokrojoyo duduk bersila dalam keadaan sama seperti ketika ditinggalkan dulu. Tubuhnya hitam terpanggang api sambil memegangi erat tongkat Sunan Kalijaga yang ditancapkan di tanah. Bahagian tubuh Ki Cokrojoyo kelihatan ‘terbakar’ akibat terpanggang api, namun dirinya tak berganjak sedikitpun dari tempat duduknya. Hati Sunan Kalijaga terharu saat itu. Dia belum pernah menemui kesetiaan dan ketaatan yang sangat luar biasa dari seorang muridnya itu sebelumnya. Melihat pengorbanan sedemikian besar, maka sejak itu Ki Cokrojoyo dinilai telah lulus dan layak memiliki ilmu setingkat dengan ilmu seorang ‘wali’. Lantas Ki Cokrojoyo pun diberi gelar dengan panggilan Sunan Geseng.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2011 di pasaran...

No comments: