ADA jutaan manusia yang sudah mengharungi dunia ini. Tapi, barangkali, hanya segelintir orang yang berani mempertanyakan tentang siapa dirinya; apa makna hidup untuknya? Ada ribuan manusia, mungkin, yang mempertanyakan dirinya. Tapi, boleh jadi, hanya sejumlah jiwa yang menemukan jawapannya, jawapan sementara hal ehwal tentang ia dan dunianya, ia dan keluarganya, ia dan Tuhannya. Ya, kali ini, izinkan saya menyinggung sekilas perkara demikian, sesuatu yang - menurut saya acapkali dilewatkan seorang anak manusia.
Gelutan jiwa, pendakian diri, atau apapun namanya, tak dapat dimungkirkan adalah hal yang jarang disinggung dan dihayati seseorang. Ia berlalu begitu saja bersama bab-bab kehidupan yang sering terjadi. Lahir, tumbuh, dewasa, bekerja, berkahwin, dan kemudian meninggal dunia. Atau, barangkali yang lebih ekstremnya, pusingan hidupnya boleh jadi begini: menumpang makan, minum, dan seks. Hmm... Apa bedanya kita dengan haiwan ya? Apa betul itu yang diharapkan Tuhan saat menciptakan kita, hamba yang diberikan kedudukan “khalifah”? Padahal, pencarian diri sebenar manusia adalah paling fundamental agar hidup manusia tidak semata-mata berkubang dalam bab-bab menjemukan tersebut. Sayangnya, perkara tersebutlah yang paling tidak diperhatikan. Seakan-akan semuanya sudah begitu adanya. Seolah-olah semuanya ada tanpa perlu dipertanyakan, diselidik, dan difikirkan di dalam lingkaran fikiran; anugerah keunggulan manusia yang disebut sebagai akal. Tidakkah firman Allah yang bermaksud: “Apakah kamu tidak memikirkannya...?” yang diulang-ulang dalam beberapa surah menjadi bahan tafakur kita? Akibatnya, tak aneh, betapa banyak manusia di muka bumi ini yang menyandang kedudukan pengikut, bukan yang diikuti; banyak di antara kita yang lebih memilih menjadi orang yang dipimpin, bukan memimpin [khalifah]; banyak di antara kita yang hanya menjadi penonton, bukan pemain dalam kehidupan; banyak di antara kita yang gerak hidupnya “diwarnai” oleh seseorang atau sesuatu, berbanding “mewarnai” dunia ini. Kesannya, tentu saja, sangat dahsyat. Mereka akan menjadi manusia tanpa dapat memilih yang terbaik dan terbagus untuknya. Imam Ghazali pernah berkata: “Tidak ada yang lebih dekat denganmu kecuali dirimu sendiri. Jika kamu tidak mengenal dirimu, bagaimana kamu akan mengenal yang lain? Kamu harus mencari realitimu sendiri. Benda apakah kamu itu? Untuk apa kamu datang ke tempat [dunia] ini? Mengapa kamu diciptakan? Apa dan dimana kebahagiaanmu? Apa dan dimana kesengsaraanmu?” Untuk itu, dalam tahun baru Hijrah 1432, tak ada salahnya kita merenungi petua Imam Ghazali itu, agar hidup yang sebentar ini tidak sekadar melalui stesen-stesen masa yang melenakan, menjemukan dan membosankan; agar di dalam hidup terpahat semangat yang indah dan berharga. Saya jadi teringat sebuah figura di sebuah hospital bersalin di Cirebon saat menunggu isteri saya melahirkan anak sulung. Di dalamnya terpahat kata-kata motivasi yang menggugah dan saya tergoda ingin membahaginya di kolom ini.
Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2011 di pasaran...
Wednesday, February 9, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment