Wednesday, February 9, 2011

Setia Dengan Tradisi Kitab Kuning

Ya, inilah keadaan sebenar yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Baqiyatussholihat Cibogo, Cibarusah, Bekasi. Mereka masih setia dengan konsep yang ditawarkan oleh Walisongo dulu. Namun, bukan bererti sistem pelajaran yang diberlakukan di sini sepenuhnya salafiyah semata-mata. Mereka tetap memasukkan pengetahuan-pengetahuan moden yang dianggap layak. Hanya saja, kitab rujukan utama mereka tetap kitab kuning.
Mereka menganut kaedah fikih: “memelihara konsep lama yang baik seraya menggali konsep baru yang lebih baik tanpa menghilangkan konsep lama”. Sebagai salah satu pondok pesantren tua di Bekasi, Pesantren Al-Baqiyatussholihat memiliki sejarah yang sangat panjang. Menurut KH. R. Jamaluddin Nawawi, 38, pesantren ini diasaskan kerana keadaan sosial masyarakat saat itu (pra-kemerdekaan), yang seakan-akan ingin membangun dirinya lewat ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, penubuhan pesantren sangat diperlukan kerana keadaan sosial masyarakat yang miskin ilmu pengetahuan dan pegangan hidup. Sebagai orang yang berilmu dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan Islam, KH. Raden Anwar, yang pernah menjadi murid KH. Hasyim Asy’ari ini, mengutus anaknya yang bernama Raden Ma’mun Nawawi untuk belajar agama di pesantren. Lalu, satu-persatu pesantren dikunjungi untuk digali ilmunya, mulai dari Pesantren KH. Hasyim Asy’ari di Jawa Timur, Pesantren Syekh Ihsan Jampes (Pengarang Kitab Siraj al-Thalibin) di Kediri, hingga Pesantren Tubagus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di Plered, Sempur, Bandung. “Kerana kebolehannya dalam bidang ilmu, ayah saya, Raden Ma’mun Nawawi, diambil sebagai menantu oleh Kiai Tubagus saat itu,” ujar KH. R. Jamaluddin Nawawi, yang tidak lain merupakan anak KH.R.Ma’mun Nawawi dan pengelola pesantren sekarang.
Tuntutan ilmu Raden Ma’mun Nawawi tidak berhenti sampai di situ. Setelah itu, beliau belajar lagi ke Pesantren Syeikh Mansyur (pengarang Sulam al-Nairen) di Jembatan Lima, Jakarta. Kitab Sulam al-Nairen berisi tentang ilmu falak. Oleh Raden Ma’mun Nawawi, kitab ini mampu dipelajari dan dikuasainya selama 40 hari saja.
“Beliau memang cerdas orangnya,” ujar KH.R.Jamaluddin. Bahkan, menurutnya, kerana cerdasnya, dalam usia 19 tahun, ayahnya sudah menghafaz 30 juz al-Quran. Dari Jembatan Lima, Raden Ma’mun Nawawi belajar ke Makkah al-Mukarramah, untuk berguru kepada orang-orang pintar di sana. Setelah dianggap berkebolehan untuk mengembangkan dakwah Islamiyah, Raden Ma’mun Nawawi diminta oleh mertuanya, Tubagus Bakri, untuk mendirikan pesantren di Pandeglang, Banten. Namun, sekitar dua tahun kemudian, beliau diminta oleh ayahnya, KH.Raden Anwar untuk kembali ke tempat asalnya di Cibogo, Cibarusah, untuk mendirikan pesantren. Atas biaya si ayah, maka berdirilah Pesantren Al-Baqiyatussholihat pada tahun 1938. Seluruh pelajar pondok (santri) di Pesantren Pandeglang ikut bergabung ke Pesantren Al-Baqiyatussholihat ini. “Jadi, pada tahun pertama hampir sebahagian besar pelajar pondok di sini majoritinya orang-orang Banten,” ujar KH. Jamaluddin.
Pada masa kegemilangannya, pesantren ini pernah menampung sekitar 1,000 santri dalam satu-satu masa. Bahkan, pesantren ini sempat terkenal sebagai Pesantren Ilmu Falak (Hisab). Ketika menyebut pesantren ini, maka yang muncul di benak adalah Pesantren Ilmu Falak. Kerana itu, ketika pihak berkuasa Bekasi, Bogor, Jakarta dan sekitarnya memerlukan masalah perhitungan falakiyyah, selalu merujuk ke pondok pesantren ini. Sekarang masalah falakiyyah juga masih diajarkan di sini. KH. Jamaluddin lalu menunjukkan contoh almanak berdasarkan perhitungan falakiyyah yang masih menggunakan corat-coretan tangan. “Dari dulu hingga sekarang, modelnya adalah seperti ini,” ujarnya. Kini, dalam usianya yang sudah 73 tahun, pesantren yang berdiri di atas tanah 2995 m2 ini masih tetap gigih dan setia dengan tradisi lamanya, iaitu mengajarkan kitab kuning kepada pelajar-pelajar pondok lelaki dan wanita, baik ilmu alat (Nahwu, Sharaf, Balaghah), Faraidh (ilmu waris), Fikih, Falak (Hisab), Tauhid dan sebagainya. Salah satu pelajar pondoknya yang berkali-kali tampil di tv adalah KH. Yahya Anshari di Kalideres, Jakarta Barat. Bekas pelajar pondok lainnya yang masih aktif adalah Kiai Utsman di Citeureup dan sebagainya. KH.R.Ma’mun Nawawi meninggal dalam usia 63 tahun (1912-1975). Selama hidupnya beliau pernah menulis nadzaman ilmu falak sebanyak 63 bait dan menghasilkan setidaknya 63 kitab.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2011 di pasaran...

1 comment:

mohammad yusron hasani al ilawy said...

Sulam nairen bukannya karangan seorang Ulama' Uzbekistan...