PERNAHKAH anda ingin masuk ke bilik anda dan menangis semahu-mahunya? Atau anda ingin tidur lena dan tak bangun-bangun? Anda ingin pergi ke suatu tempat, menghilang, dan berharap tak pernah ada di muka bumi ini? Ya, itu namanya perasaan ‘meleset’. Setiap orang pernah mengalami, dan bagi yang belum pasti akan mengalami. Anda merasa inilah titik terendah dalam hidup anda, dan saat itu rasanya tak ada keinginan selain berlari sejauh mungkin. Berlari dari kenyataan. Atau seperti program komputer, rasanya, ingin di-install ulang. Agar semua memori pahit itu lenyap seketika. Di saat rasa sakit dan pahit melanda - baik itu kerana kehidupan cinta yang menyedihkan, kerana kehidupan sosial yang sepi tanpa teman, kerana kerjaya yang terkandas di tengah jalan, kerana perniagaan yang tak menguntungkan satupun kecuali beban hutang akan muncul ke permukaan. Rasanya tak sanggup melangkah satu detik pun ke depan. Masa depan terasa gelap gelita. Tak ada cahaya. Apa yang harus dilakukan? Tak ada yang boleh dilakukan. Selalu ada sisi tergelap dalam kehidupan seseorang – seandainya anda pernah mengalaminya, atau setidaknya, seandainya anda percaya. Saya sendiri, ya, tentu saja pernah. Bila melihat dari permukaan lahirnya, orang akan menyangka hidup saya baik-baik saja. Ceria dan penuh canda. Di balik itu, di ceruk terjauh masa lalu, ada derita pahit yang membekas hingga kini, sulit terhapus dari kotak memori. Saya masih ingat di saat insan-insan yang amat saya cintai meninggalkan dunia untuk selamanya, rasanya takkan ada derita lebih parah dari itu. Seakan ingin menangis sepuasnya, ingin tidur selamanya. Begitu dalamnya kepedihan yang menyelimuti, hingga seolah terjebak dalam ruang antara realiti dan mimpi. Kerapkali rasa tak percaya hadir, benarkah ini terjadi? Lalu mengapa harus terjadi kepada saya? Mendadak saya merasa jadi ‘objek’ dari suatu adegan yang tak mampu saya fahami. Itu perasaan saya ketika nenek dan bapa saudara saya tercinta meninggal dunia. Banyak orang yang akan tertawa mendengar kata ‘nenek’dan ‘bapa saudara’ mengingat kedekatan kekeluargaan yang tidak terasa terlalu kental. Namun, bagi saya, insan berdua ini tak tergantikan. Mereka adalah orang utama dalam hidup saya. Orang-orang yang menjadi penyokong pertama dalam memupuk keberanian saya menghadapi dunia. Apakah anda juga pernah mengalaminya? Ditinggal insan yang selama ini mendukung hidup anda, menjadi alasan bagi anda lahir ke dunia – insan yang sama sekali tak pernah anda fikirkan akan meninggalkan anda secepat itu? Tak terbayang bagaimana kepahitan para sahabat kita yang saat ini tengah dirundung ujian bencana. Orang-orang terkasih meninggalkan, tempat tinggal yang nyaman digantikan khemah-khemah pelarian. Bolehkah esok hari tetap makan, berteduh, bernafas, dan hidup? Tak ada yang pasti, tak ada yang tahu. Luka fisikal yang menganga tak seberapa dibanding luka batin atas ketidakpastian yang nyata. Takdir itu berbicara melebihi kekuatan kita menjangkaunya. Di saat seperti ini, bolehkah hanya diam dalam lautan air mata? Salahkah mengeluarkan titis demi titis kepedihan, berdosakah bersedu sedan? Ya, boleh saja. Bukankah air mata tercipta untuk membasuh luka? Asalkan setiap titisannya gugur kerana hati yang hanya berpaut kepadaNya. Asalkan setiap isakan hanya tersedu untuk memohon kekuatan dariNya. Bukan tangis penyesalan, bukan tangis penggugatan, bukan tangis penyalahan atas takdirNya. Menangis adalah terapi terbaik. Menangislah, hanya jangan berlama-lama, sebab di balik kepahitan, kebahagiaan sudah siap menunggu untuk disambut, bukan?
Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2011 di pasaran...
Wednesday, February 9, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment