ZIKIR, sebagai pengantara untuk mengingat Allah s.w.t. adalah sebuah amalan yang sangat penting bagi kehidupan seorang muslim. Ia ibarat jantung dalam tubuh manusia yang harus tetap berdegup setiap waktu. Dan manusia akan mengalami kematian bila jantungnya tak berdegup. Begitu pula dengan zikir; jika ia berhenti, maka matilah seorang muslim secara spiritual. Hatinya membeku dan membatu. Sebaliknya, jika seorang hamba selalu mengingat [menzikir] keberadaan Allah s.w.t., maka ia mampu merengkuh kesedaran rohani. Sebuah kesedaran yang mengantarkannya kepada kehidupan mulia, kerana ia tidak saja mengagungkan, memuji dan mencurahkan kecintaan serta kerinduan kepada Allah semata, melainkan menjadikan Allah itu sebagai Khalik – yang harus selalu diingat setiap saat. Dalam keadaan seperti itulah, seorang muslim akan menjadi tenang. Apa lagi, di tengah kehidupan moden seperti sekarang ini, dimana jiwa dan hati manusia mengalami pelbagai ujian, godaan bahkan penyakit yang tidak saja menjadikan hati membeku, melainkan juga dapat berkarat. Pada titik inilah, zikir memiliki peranan yang sangat bererti. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w. dalam sebuah hadis, “Sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana besi berkarat. Cara membersihkannya adalah dengan mengingat Allah (zikrullah).”
Tingkatan Zikir
Meski zikir sudah begitu difahami sebagai media mengingat Allah, tetapi tidak sedikit umat Islam yang memahami zikir dalam konteks permukaan [zahir] semata, tanpa menyentuh hakikatnya. Zikir kerap kali difahami sebagai amalan yang dilantunkan dengan mulut saja, tanpa disertai adanya ketergerakan hati sehingga boleh menumbuhkan rasa cinta mengenal Allah. Dalam konteks inilah, zikir tidak dapat dimungkiri merupakan hakikat ibadah. Tentu, untuk dapat mencapai kesedaran dan ketinggian rohani, zikir itu pun harus dilakukan tidak semata-mata menyebut-nyebut ‘lafaz Allah’ saja. Kerana dengan melantunkan lafaz semata, tanpa didasari kecintaan dan mengenal Allah, maka nescaya tidak akan menyentuh kesedaran. Memang, setiap hamba memiliki tingkatan sendiri dalam mengenal Allah (zikir). Di kalangan ahli sufi, setidaknya, disebutkan ada tiga tingkatan. Pertama, zikir yang diucapkan dengan lisan. Dalam hal ini, zikir dengan melafazkan pujian kepada Allah semata. Yang yang kedua, yakni zikir di dalam hati, zikir agar seseorang yang menuju tingkatan yang lebih dalam dan tinggi. Ketiga, zikir yang “tertanam” kuat, yakni diucapkan secara otomatis di dalam lisan bila-bila saja dan di mana saja seraya tertanam kuat di dalam hati, turut dilakukan pula dengan zikir seluruh tubuh. Dalam hal ini, zikir tingkat ini adalah zikir yang dilakukan dengan penuh cinta dan ma`rifatullah.
Mencapai Kesedaran Rohani
Tetapi, di balik motivasi [niat] seseorang mengingat [zikir] Allah, tidak dimungkiri pula memiliki tingkat yang berbeda. Dunia sufisme, setidaknya, mencatat ada (empat) ajaran utama yang ditekankan. Pertama, zikir itu difahami sebagai sebuah perbuatan yang diwajibkan bagi seluruh umat manusia. Dalam kaitannya dengan perintah itu, al-Quran menjelaskan, “Wahai orang yang beriman, ingatlah Allah dengan mengingat sebanyak-banyaknya”; dan “Sebutlah (ingatlah) nama Tuhanmu dan beribadahlah kamu kepadaNya dengan sepenuh hati.” Kedua, “prinsip timbal balik” dalam berzikir. Kerana, saat seseorang mengingat Allah s.w.t., maka Allah pun akan mengingatnya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran “Ingatlah kepadaKu, maka aku akan mengingatmu” (QS. Al-Baqarah: 152). Dengan kata lain, ketika seseorang muslim itu “mengingat” Allah, maka Allah membalas orang yang mengingatNya dengan mengingatnya juga. Ketiga, ajaran tentang zikir sebagai sebuah hakikat ibadah dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, antara ingat, yang mengingat dan Yang Diingat (zikr, zakir dan mazkur) adalah satu. Ini adalah misteri yang sulit diterangkan. Tapi, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits Qudsi, setidaknya, misteri itu dapat dihurai dengan keberkahan yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada hambaNya yang berzikir. “HambaKu sentiasa mendekatiKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat dan menjadi tangannya yang dengannya ia mengambil dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Seandainya ia meminta kepadaKu, tentu Aku akan memberinya dan seandainya ia meminta perlindungan kepadaKu, tentu Aku akan memberinya.” (HR. Bukhari). Keempat, niat zikir agar tidak melupakan Allah di mana pun dan dalam keadaan apa pun. Sebab Allah menciptakan manusia untuk tujuan ini, sehingga manusia sudah selayaknya untuk tidak melupai atau melalaikan Allah.
Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2011 di pasaran...
Wednesday, February 9, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment