Monday, April 9, 2012

Juwairiyah Binti Al-Harits: Pembawa Berkat Dari Perang Murais

Ummul mukminin, para isteri Rasulullah, adalah para sosok teladan yang menyimpan segudang kisah menarik untuk diketahui. Mulai dari sikap peribadi, alasan mereka dinikahi Rasulullah sampai sisi terdalam kehidupan rumahtangganya bersama Rasulullah. Seperti para isteri-isteri Rasulullah yang lain, Juwairiyah binti Al-Harits r.a., merupakan satu diantara Ummul Mukminin yang cukup menyita perhatian sejarah. Dia adalah tawanan perang yang kemudian dipersunting Rasulullah untuk menjadi isterinya. Juwairiyah adalah seorang puteri pemimpin Bani Musthaliq bernama Al-Harits bin Abi Dhiraar yang selama ini dikenal sangat memusuhi Islam dan menyembah berhala. Juwairiyah dilahirkan empat belas tahun sebelum Nabi s.a.w. hijrah ke Madinah.
Sebagai anak seorang pemimpin, Juwairiyah pandai betul menempatkan diri. Dia perempuan berwibawa yang terpandang, luas ilmunya, santun budi pekertinya di antara gadis-gadis dari kelompoknya. Tetapi sebelum diperisteri Rasulullah, dia bernama Burrah. Burrah sempat berkahwin dengan seorang pemuda yang bernama Musafi’ bin Shafwan. Suatu ketika, ayah Burrah, Al-Harits, berencana menyerang kaum muslimin di Madinah. Selama ini sudah maklum bila Bani Musthaliq sangat bernafsu mengalahkan pasukan muslim dan mengambil-alih kekuasaan suku-suku Arab. Tetapi sebelum rencana tersebut kesampaian, Rasulullah sudah mendapat khabar terlebih dulu. Dan demi memastikan khabar tersebut, Rasulullah lalu menugaskan Buraidah bin Al-Hushaid untuk memastikan kebenaran maklumat yang diterima. Ternyata, rencana penyerangan yang akan dilakukan Bani Musthaliq itu tak sekadar isu, melainkan kenyataan. Maka Rasulullah pun segera menyusun kekuatan dan berinisiatif menyerang terlebih dulu. Pertempuran antara tentera Islam melawan kaum kafir dari Bani Musthaliq ini dikenal dengan nama Perang Muraisi’ yang terjadi pada bulan Syaaban tahun kelima Hijriyah. Pertempuran itu cukup sengit. Tetapi pasukan musuh kalah tangguh dibanding pasukan muslim. Sebab itu tanpa menunggu waktu lama peperangan diraih kemenangan bagi umat Islam. Bani Musthaliq lari tunggang-langgang. Termasuk pimpinannya, Al-Harits, melarikan diri dari medan perang, sementara menantunya, suami Burrah, tewas terbunuh. Dan akhirnya tak dapat dihindari lagi jika seluruh penduduk (musuh) yang selamat termasuk Burrah, menjadi tawanan perang kaum muslim. Keadaan tersebut tentu saja membuat Burrah mengalami kejutan. Dia yang semulanya merupakan puteri seorang pemimpin harus menerima kenyataan pahit menjadi tawanan perang. Namun Burrah tidak begitu saja pasrah. Ia cuba berusaha agar terbebas dari status tawanan. Maka Burrah pun mencuba berunding dan meminta bertemu dengan Rasulullah. Gayung bersambut. Upayanya membuahkan hasil. “Rasulullah, aku Burrah, puteri dari Al Harits. Ayahku adalah pemimpin kaumku. Sekarang aku ditimpa kemalangan kerana menjadi tawanan perang dimana aku jatuh di tangan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tidak pernah berlaku buruk padaku. Namun ketika kukatakan aku ingin menebus diri, ia membebaniku dengan sembilan keping emas. Maka kufikir, lebih baik meminta perlindungan padamu. Tolong, bebaskanlah aku!” ujarnya memohon ketika dia telah menghadap Rasulullah. Rasulullah berfikir sejenak, menimbang keadaan Burrah yang saat itu sudah menjanda lantaran suaminya mati terbunuh dalam perang, begitu juga dengan saudara-saudaranya, sedang ayahnya sendiri melarikan diri meninggalkannya anaknya. Rasulullah lantas balik bertanya, “Mahukah engkau yang lebih baik dari itu?” Burrah tertegun, tak mengerti dengan pertanyaan Rasul, kerananya ia pun balik menanyakan lagi, “Gerangan apa itu, wahai Rasulullah?” “Aku tebus dirimu, lalu kunikahi engkau.” Mendengar jawapan tersebut, wajah Burrah berubah berseri-seri. “Baiklah, wahai Rasulullah,” sambut Burrah merasa lega. Rasulullah pun lantas menikahinya dengan mas kawin 400 dirham, dimana nama Burrah kemudian segera diganti menjadi Juwairiyah. Sayangnya, keputusan Rasulullah menikahi Burrah ini seringkali disalahfahami terutama oleh sekelompok orientalis dan para pembenci Islam. Dianggapnya keputusan Rasul menikahi Burrah semata-mata kerana nafsu. Padahal jika dikaji lebih jauh, keadaan Burrah yang hanya seorang diri dan menjadi tawanan perang lalu ditinggal mati suaminya, serta ditinggal ayahnya yang lari tak bertanggungjawab, pastilah akan menerima perlakuan kasar, fitnah dan hal-hal buruk dari lingkungan sekitar. Justru, dengan adanya orang yang melindunginya, yang dalam hal ini adalah Rasulullah sebagai suaminya sekaligus pemimpin umat kala itu, menjadi jalan terbaik bagi diri Burrah. Sementara dalam sebuah riwayat yang datang dari Ibnu Sa’ad, dari Abu Qilabah, dikatakan bahawa sebelum perkahwinan Rasulullah dengan Juwairiyah berlangsung, Al-Harits sempat datang kepada Rasulullah demi memastikan keputusan anaknya yang mahu menerima pinangan Rasulullah. Selain itu, ia juga datang untuk menebus Juwairiyah, dengan membawa puluhan unta sebagai tebusannya, tetapi sebelum diserahkan, ia sembunyikan dulu dua unta terbaiknya. “Sesungguhnya puteri seperti puteriku ini tidak boleh ditawan, kerana itu, bebaskanlah dia,” pinta Al-Harits saat ia sudah menghadap Rasulullah. Tetapi Rasul menerangkan bahawa sama sekali ia tidak memaksa Juwairiyah menerima pinangannya. Justeru, Rasulullah memberi pilihan kepada Juwairiyah agar memutuskan sendiri nasibnya. Dengan sikap terbuka yang ditunjukan Rasulullah, lunaklah hati Al-Harits. “Kalau begitu engkau telah berbuat baik,” ujarnya. Lalu Al-Harits pun menemui puterinya dan berkata, “Orang ini (Rasulullah) telah memberi pilihan kepadamu, oleh kerana itu, engkau jangan kecewakan kami.”
Juwairiyah sangat faham maksud ayahandanya. Kerananya dengan mantap ia berkata, “Sungguh, aku memilih Allah dan RasulNya.” Keputusannya tersebut, sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi, bukan didasari kerana ia ingin terbebas dari belenggu tawanan dan menikah dengan pemimpin umat Islam. Tetapi, jauh sebelum Rasul melamarnya, ia pernah mendapatkan ‘tanda’ pinangan itu dari dalam mimpinya. “Tiga malam sebelum kedatangan Rasulullah, aku bermimpi melihat seperti bulan berjalan dari Yatsrib (Madinah) hingga jatuh di pangkuanku. Aku tidak suka menceritakan mimpiku tersebut kepada siapapun di antara manusia, hingga Rasulullah sendiri yang tiba. Ketika kami tertawan, aku mengharapkan kebenaran mimpiku tersebut, ternyata, kemudian Rasulullah memerdekakan dan menikahiku.”

Selanjutnya dapatkan Hidayah April 2012 di pasaran...

No comments: