Thursday, March 13, 2014

Ia Melihat Kalam Allah s.w.t. Di Langit

Sejak masih kecil, ia sudah merapat ke jalan yang sunyi dan bersendirian. Ia seringkali mengintai bapa saudaranya, Muhammad bin Sawwar, tengah asyik masyuk dalam khalwatnya: bersujud dan berzikir sebelum subuh merekah. Usianya, kala itu, 7 tahun dan ia berusaha terjaga saat bapa saudaranya “bercinta” denganNya. Tentu, si bapa saudara itu tahu laku anak saudaranya itu. Ia membiarkanya. Hingga, suatu hari, anak remaja yang dahaga spiritualnya serupa bom mahu meledak itu beringsut-ingsut menghadap bapa saudaranya, meminta dikenakan jubah lusuh dan penuh tambalan di sana sini; simbol “inisiasi” [pengesahan] bagi seseorang yang siap menempuh suluk. Sawwar mafhum. Anak saudaranya yang seorang ini yang satu ini sudah memilih Cinta Sejati begitu awal, dan itu KehendakNya, dan ia tidak mampu menampiknya. Lalu, ia bergegas memakaikanya ke tubuh mungil itu. Sebuah “ritual” transmisi ilmu terjadi, riadhah pun dimulai.
Lelaki mungil itu kemudian diajarkan  mengamal zikir: “Allahu ma’i, Allahu nazhirii, Allahu syaahidii...(Allah bersamaku, Allah mengawasiku, Allah menyaksikanku) setiap malam, tanpa jemu dan letih. Awalnya, ia dianjurkan membaca sebanyak tiga kali. Namun, kerana remaja kecil itu tidak kesulitan, Sawwar kemudian menyuruhnya membaca tujuh kali. Begitu seterusnya hingga ia terbiasa melakuninya. Demikianlah lelaki remaja itu menempa dirinya. Selama 2 tahun mengamalkannya, remaja luarbiasa itu merasakan hatinya begitu manis. Halawatuliman [manisnya iman] menyelimuti jiwanya. Tentu saja, sebagai bapa saudara, Sawwar takjub dan terharu. Ia kemudian membekali anak saudaranya itu dengan ilmu al-Quran dan hadis. Sejarah mengabadikan: Sawwar-lah sosok penting yang memengaruhi dirinya kemudian. Menjelang remaja, ketika usianya 13 tahun, sebuah pertanyaan mengetuk-ngetuk batinnya: “Apakah hati bersujud di hadapan Allah?” Ia merasa ulama dan kaum cerdik pandai di daerahnya tidak mampu menjawabnya. Satu pertanyaan, sebuah pengembaraan; fizik dan jiwa. Ia lalu meninggalkan kampung halamannya di Tustar dan merantau ke Basrah, Iraq. Sayang, di negeri seribu satu malam itu, belum ada jawapan yang menenangkannya. Ia pun hijrah lagi. Kali ini menuju Abaddan, satu wilayah di selatan barat Iran. Di sana, ia bertemu seorang guru sufi bernama Abu Habib Hamza bin  Abdillah al-Abbadani. Abu Habiblah yang kemudian mengajarkan dirinya segenap adab dalam dunia sufi. Kepadanyalah, ia menyerap ilmu yang mendekatkan dirinya kepada Sang Khalik.
Dan satu malam, saat ia masih berguru kepada Abu Habib, peristiwa menakjubkan menjamahnya. Di petala langit yang gulita itu, ia lihat sebaris kalam Ilahi berwarna hijau  membentang dari Timur hingga Barat. Kalimat suci itu pembuka dalam ayat Kursi surat al-Baqarah: 255 yang berbunyi: “Allah, tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] kecuali Dia Yang Maha Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus [mahluk-Nya...”
Sejarah mencatat: lelaki kecil itu kelak menjadi salah satu wali Allah. Sahl al-Tustari namanya. Lengkapnya: Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin Abdullah At-Tustari. Beliau dilahirkan di Tustar pada tahun 200 H [201 H].

Selanjutnya dapatkan Hidayah Mac 2014 di pasaran...

No comments: