Tuesday, March 8, 2011

Keberkatan Islam Di Rwanda

Umugwaneza Sulaiman adalah pemuda yang bangkit dari puing-puing. Ketika dia berusia 6 tahun, dia harus menyelamatkan diri ke hutan dan menyusuri sungai-sungai untuk menyelamatkan diri. Tahun itu adalah tahun 1994, tahun mengerikan bagi sejarah Rwanda dimana terjadi pembunuhan beramai-ramai yang dilakukan kumpulan bersenjata dari suku Hutu terhadap suku Tutsi. Saat pelarian, Sulaiman melihat sendiri tubuh-tubuh tanpa nyawa yang anggota badannya tersembelih bergeletakan di jalan-jalan raya dan terapung di sungai. Sulaiman sendiri harus kehilangan ayahnya dalam peristiwa itu. Tapi, alhamdullillah, dia selamat. Selepas peristiwa itu pada usia 11 tahun, dia masuk Islam. Walaupun lahir dari keluarga Katholik, Sulaiman selalu merasa nyaman dengan suara azan. Entah mengapa, dia juga suka berada di masjid dan lingkungan sekitarnya. Baginya, itulah pesona yang menenangkan hatinya. Dia pun bertekad menjadi seorang al-hafiz [penghafal Quran]. Lapan tahun kemudian, ketika usianya 19 tahun, Sulaiman menjadi orang Rwanda pertama yang mengikuti Musabaqah Al-Quran Antarabangsa di Dubai, UAE. Tak ada tentangan dari keluarganya saat ia menyatakan masuk Islam di usia semuda itu. Islam memang memiliki posisi strategi selepas konflik berdarah tahun 1994. Tak terlibat dalam konflik, umat Islam justeru membantu orang ramai yang diancam dibunuh waktu itu dengan menyembunyikan mereka di masjid dan rumah-rumah. Tak berapa lama setelah masuk Islam, keluarga Sulaiman juga mengikuti jejaknya memeluk Islam. Sulaiman mesti bekerja keras menghafal al-Quran kerana kurangnya guru al-Quran di Rwanda. Hal inilah yang membuatnya memutuskan pergi ke Nairobi, Kenya, untuk belajar al-Quran. Waktu itu, dia pergi bersama lima orang kawannya. Selama dua tahun penuh Sulaiman menghafal al-Quran sampai menjadi al-hafiz. “Saya berusia 15 tahun ketika saya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Kenya untuk mencari ilmu bersama kawan-kawan saya. Dua dari kawan saya itu juga seorang saudara baru seperti saya,” ujarnya sebagaimana dipetik muslimmatters.org. Kini Sulaiman sudah balik ke kampung halamannya dan bekerja sebagai pengajar al-Quran dan imam di masjid. Sulaiman sangat gembira kerana ghairah Islam sangat kuat di Rwanda sekarang. Orang-orang beramai-ramai memeluk Islam di sana. “MasyaAllah! Begitu ramai orang Islam di negeri saya sekarang. Saya sekarang bekerja untuk menyiapkan generasi baru Islam di sini melalui pengajaran al-Quran. Saya juga ingin belajar lagi tentang Islam dengan lebih mendalaminya kerana saya ingin kedamaian menyebar lebih luas lagi di negeri saya,” ujarnya terharu.

Islam Solusi
Rwanda adalah negara di Afrika Tengah bekas jajahan Belgium. Luasnya hanya 26 ribu kilometer persegi. Majoriti penduduk Rwanda adalah Katholik, 56 peratus. Pada tahun 1890, Rwanda berada di bawah kendali Jerman dan kemudian berpindah ke tangan Belgium pada 1918. Rwanda mendapat kemerdekaan pada 1 Julai 1962 dan Gregoire Kayibanda dari suku Hutu menjadi Presiden pertama. Benih-benih konflik antara suku Hutu yang majoriti dan Tutsi yang minoriti mulai terjadi. Peristiwa berdarah meledak ketika Presiden Habyarimana dan Presiden Burundi, Cyprien Ntarymira terbunuh pada 6 April 1994. Pesawat yang mereka tumpangi ditembak jatuh satu kumpulan ekstrimis Hutu. Presiden Habyarimana yang berasal dari etnik Hutu menjadi sasaran tembak kerana dia merencanakan penyatuan etnik di Rwanda. Rencana inilah yang tak disukai kelompok Hutu yang berhaluan keras. Setelah Presiden tewas, mulailah pembunuhan dilakukan yang menewaskan 800 ribu jiwa suku Tutsi dan Hutu moderat. Sebahagian lagi melarikan diri ke Burundi, Tanzania, Uganda dan Zaire. Setelah peritiwa itu, Islam menarik banyak orang di Rwanda. Isu ini menjadi isu yang cukup hangat dibicarakan di dunia. Setidaknya empat media besar memberitakan hal ini yakni The Washington Post, Chicago tribune, Times Daily dan BBC News. Emily Wax dari The Washington Post melaporkan sendiri bagaimana ghairah Islam itu demikian besar. Dia melihat para wanita dengan tudung cerah warna kuning, hijau dan merah, begitu bersemangat menghadiri pengajian al-Quran dan mengikuti pembahasan mengenai jihad. Mereka mengatakan, jihad mereka bukanlah seperti yang tampak pada peristiwa sebelas September. Jihad mereka adalah melawan kebodohan, terutama dalam bentuk pertikaian antara suku yang telah menewaskan banyak orang. “Kita ingin menyembuhkan kebodohan itu dan luka yang ditinggalkannya. Jihad kami adalah jihad untuk saling menghormati satu sama lain dan memulai hidup baru sebagai orang Rwanda yang muslim,” ujar salah seorang dari mereka. Sejak pembunuhan beramai-ramai, penduduk Rwanda kini memeluk Islam dalam jumlah yang sangat besar. Kini warga muslim berjumlah 16 peratus dari 10 juta penduduk. Angka ini sangat jauh meningkat kerana sebelum peristiwa pembunuhan beramai-ramai itu, muslim Rwanda hanya memenuhi populasi kurang dari 2 peratus. Sementara itu, simpati terhadap gereja meredup. Empat pendeta dituduh terlibat dalam pembantaian etnik oleh PBB. Sebelumnya 2 orang biarawati dihukum kerana terbukti terlibat atas pembunuhan 7000 orang Tutsi yang berlindung di gereja Benedictine. Saat itu banyak orang yang diusng ke gereja bukan untuk diselamatkan, namun justeru dibantai. Sebaliknya, banyak pemimpin muslim dan keluarga muslim yang dihormati kerana mereka melindungi dan menyembunyikan orang-orang yang melarikan diri. Gambaran kononnya Islam yang keras dan terpencil di Rwanda dapat dinafikan dengan fakta ini. Orang-orang yang tadinya tak diberi perhatian, menjadi penyelamat banyak orang di Rwanda.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Mac 2011 di pasaran...

No comments: