SALAH satu tanda-tanda kebesaran dan kasih sayang Allah ialah pernikahan. Allah s.w.t. menjelaskan dalam al-Quran: Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antara kamu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. al-Rum: 21) Sebagai anugerah yang besar, pernikahan lalu menjadi semacam gerbang kesucian manusia yang ingin meningkatkan, bahkan menyempurnakan keimanannya. Nabi s.a.w. menyabdakan, “Dengan menikah, manusia telah memenuhi sebahagian imannya, maka baginya sebahagian iman yang lain.” Juga dalam sabda yang lain Nabi s.a.w. menyebutkan: “Solat orang yang sudah menikah, 70 kali lebih baik dari solat orang yang belum menikah.” Ada manusia yang terbelenggu nilai-nilai duniawi tak akan sanggup menggunakan mata bening keimanan tatkala memasuki istana suci pernikahan. Dalam keadaan demikian, dirinya hanya memandang pernikahan antara lelaki dengan wanita sekadar sebagai keterikatan lahiriah yang dimaksudkan untuk memuaskan hasrat biologi dan melanjutkan keturunannya. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (QS. al-Rum: 7) Berkenaan dengannya, Rasulullah s.a.w. menyabdakan agar memilih dan menetapkan pasangan berdasarkan nilai-nilai ukhrawi. “Tak ada kebaikan yang bermanfaat bagi seorang mukmin setelah ketakwaannya kepada Allah, kecuali pasangan yang salih.” Dengan melangsungkan pernikahan, manusia akan memiliki tugas besar dalam melakukan perubahan dan menciptakan kententeraman di tengah umat manusia dan dunia. Kententeraman yang dikemukakan ayat, “...litaskumu ilaiha,” memiliki makna yang lebih luas dari sekadar ketenteraman dalam rumah; kendati kententeraman dalam rumah merupakan pangkal kententeraman luar rumah. Sungguh, kententeraman hidup sebuah masyarakat sangat ditentukan oleh kententeraman hidup berkeluarga. Dalam wawasan Islam, kehidupan pernikahan atau keluarga yang diliputi suasana tenteram bahagia adalah kehidupan pernikahan sakinah. Darinya nescaya akan terlahir pahlawan-pahlawan beriman yang tulus berbakti dan berjuang demi menjaga keseimbangan sistem Allah s.w.t. di muka bumi. Sedemikian pentingnya pernikahan, hingga Rasulullah s.a.w. yang menjadi contoh manusia teladan menegaskan bahawa pernikahan adalah sunahnya; seraya menekankan bahawa siapapun yang tidak menghendaki sunahnya, bukan termasuk golongannya. Bila dipautkan dengan keyakinan kita bersama, maka semua yang dilakukan Rasulullah nescaya merupakan sebahagian dari misi dan tugas yang diterima dari Allah s.w.t.; mengajak umat manusia menuju nilai kesempurnaan sebagai hamba. Oleh kerananya, bagi Rasulullah, pernikahan merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan sebagai penyempurnaan misi kenabiannya.
Tonggak ajaran Rasulullah s.a.w. adalah kebenaran dan keadilan; maka pernikahan di matanya merupakan khidmat manusia dalam menyebarkan dan memancangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan di muka bumi. Namun, mengingatkan bahawa keduanya mustahil tegak berdiri di landasan selain Allah s.w.t., maka dibangunlah landasan berupa keimanan dan kepasrahan. Dalam firmanNya, Allah s.w.t. menjelaskan bahawa pernikahan yang dikehendaki ialah pernikahan yang mengakibatkan kententeraman bagi manusia pada umunya. Namun itu tak akan pernah tercapai apabila pelakunya hanya bersandar pada hukuman dan undang-undang semata. Jelasnya, si pelaku tak akan berbahagia apabila berkidmat kerana paksaan hukum atau undang-undang. Dalam pada itu, Allah s.w.t. menghadiahkan perasaan kasih sayang kepada manusia yang memasuki gerbang suci pernikahan dengan tujuan ilahiah. Perasaan kasih dan sayang pada gilirannya akan membuahkan rasa nikmat dalam dirinya tatkala memberikan pelayanan dan mempersembahkan pengorbanan. Dalam surat al-Dahr (al-Insan: 8 – 9), Allah s.w.t. menceritakan tentang perasaan keluarga Nabi s.a.w. yang rela membantu orang miskin, anak yatim dan tawanan kendati mereka sendiri sedang memerlukan lantaran didorong perasaan kasih sayang. Paling tidak, ketika perasaan tersebut telah tumbuh dalam hati, isteri atau suami yang hidup dalam mahligai pernikahan akan mampu memaklumi dan bersabar antara satu sama lain. Jadi nikmat ketenteraman yang dijanjikan sebuah pernikahan akan mereka nikmati bersama. Begitu pula dengan keturunan yang terlahir dari pasangan: akan merasakan keluarganya sebagai syurga baginya. Mereka akan menyaksikan bagaimana keharmonian dibangun dengan cara saling mengasihi dan menghormati satu sama lain. Imam Hasan dan Imam Husain, dua cucu terkasih Nabi s.a.w., banyak mengambil pelajaran berharga dengan mengamati cara ayah mereka, Ali bin Abi Thalib menghormati dan menghargai ibu mereka. Demikian pula dengan Zainab yang menjumpai keindahan setelah menyaksikan cara bondanya, Fatimah Al-Zahra, memperlakukan ayahnya. Imam Husain mengatakan, “Demi Allah tidaklah ayahku diciptakan bila ibuku tidak tercipta.” Ungkapan itu menggambarkan tentang keserasian hubungan yang terjalin indah antara ayah dan ibunya. Cinta dan kasih sayang adalah anugerah Allah s.w.t. bagi mereka yang menghidupkan hatinya; iaitu orang-orang yang menyandang keimanan dalam lubuk hati. Mereka yang terbiasa membangun kehidupan demi memuaskan hasrat egonya sendiri, tak akan pernah meneguk anugerah agung ini. Akibatnya, ia akan memperlakukan setiap manusia, termasuk isteri dan anak-anaknya, dengan sesuka hati dan hanya demi kesenangan dan kepentingan peribadinya semata. Al-Quran mengatakan dengan nada tegas: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk Islam lalu medapatkan cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (al-Zumar: 22) Sudah menjadi kewajipan bagi umat manusia untuk tidak melakukan kezaliman agar hatinya tetap peka dan berhak mendapat anugerah kasih sayang Allah s.w.t. Kasih sayang ibarat kekuatan graviti yang memancangkan keutuhan harmoni kehidupan sebuah rumahtangga. Apabila kekuatan itu sampai hilang, nescaya keharmonian hidup bersama akan segera memudar, yang pada gilirannya mengakibatkan mahligai pernikahan beserta segenap hal yang telah dihasilkannya (termasuk keturunan), porak-peranda. Akhirnya, mereka yang memiliki kekhuatiran mendalam terhadap nasib keturunannya nescaya akan bersungguh-sungguh menjaga keharmonisan hubungannya dengan Allah s.w.t. seraya terus berusaha memelihara dan menambahkan anugerah kasih sayang yang telah diterimanya selama ini.
“Dan hendaklah takut kepada Allah bagi orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan anak-anak yang lemah, yang mereka khuatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa’: 9)
Selanjutnya dapatkan Hidayah Mac 2011 di pasaran...
Sunday, March 6, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment