SELESAI perang Badar, kaum muslimin menawan sejumlah pasukan musuh. Di antara orang–orang Quraisy yang tertawan adalah Wahab bin Umair bin Wahab Al-Jumahy. Ayahnya, Umair bin Wahab Al-Jumahy, adalah pahlawan Quraisy yang tentu saja sangat memusuhi Islam. Khabar tertawannya Wahab membuat Umair bin Wahab Al-Jumahy sangat sedih. Gerangan apa yang menimpa anaknya di tangan pasukan musuh? fikirannya resah gelisah. Setiap hari, siang dan malam, Umair dilanda risau. Bayangan si anak selalu menari-nari di pelupuk matanya. Bayangan kematian dan ketidakjelasan hidup anak tersayang kerana nyawanya ditawan pasukan Islam.
Saat pilunya tetap menyergap, suatu ketika dia mengunjungi seorang sahabat karibnya, Shafwan bin Umayah, pemuda dari anak seorang Quraisy. Saat itu, Shafwan juga sedang dalam duka yang mendalam kerana ayah kesayangannya terbunuh di perang Badar. “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik sesudah kematian pahlawan-pahlawan Quraisy...” ujar Shafwan. “Demi Allah, memang begitu! Benarlah kata-katamu itu, hai Shafwan! Demi Allah, jika saja aku tidak punya pinjaman banyak yang hingga kini aku belum dapat melunasinya, dan seumpama aku tidak punya banyak anak yang selalu aku khuatirkan makannya jika aku tinggal mati, nescaya aku akan mencari Muhammad, dan aku bunuh dia. Hatiku amat sakit padanya. Mengapa dia sampai berani menawan anakku yang kucintai?” sela Umair membenarkan. “Hei, kalau betul-betul kau mahu membunuh Muhammad, aku sanggup membayar lunas semua pinjamanmu. Adapun anak-anakmu, biar bersama anak-anakku dan orang-orang yang jadi tanggunganku. Akulah yang menanggung makannya selama aku masih hidup,” tegas Shafwan memberi jaminan. “Betulkah begitu Shafwan?” Umair terkejut, setengah rasa tak percaya.
“Mengapa tidak? Aku bukankah seorang lelaki? Jangan khuatir!” “Kalau memang betul kau sanggup, baiklah, hal ini kita rahsiakan dulu, dan jangan sampai ada seorangpun yang mendengar!” “Ya, baiklah! Dan segera kerjakanlah!” Keduanya kemudian bergegas pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah, Umair segera berkemas-kemas dan menyediakan peralatan perang selengkapnya, diantaranya pedang beracun. Dan esoknya, Umair pun berangkat.
Disambut Umar bin Khathab
Di Madinah, suatu hari, Umar bin Khathab r.a. bersama sekelompok kaum muslimin asyik membincang perang Badar. Mereka bersyukur pertolongan yang Allah s.w.t. turunkan kepada kaum muslimin mampu membenam pasukan musuh. Namun di tengah pembicaraan tersebut, tiba-tiba terdengar suara seseorang datang. Ketika Umar menoleh, terlihat Umair bin Wahab sedang bergerak menuju ke arah masjid dengan unta yang ditungganginya. “Hei, itu dia si Umar bin Wahab, musuh Allah! Demi Allah, pasti kedatangannya untuk maksud jahat! Dialah yang menghasut orang banyak dan mengarahkan mereka untuk memerangi kita di perang Badar!” ujar Umar berang, membangkitkan semangat kaum muslimin yang ada di sana seraya tak berkedip sekejap pun memandangi Umair. Sementara Umair terus melangkah menuju masjid. Dia lihat ke kiri ke kanan, mencari-cari dimana Nabi Muhammad s.a.w. berada. Pedang beracun kesayangannya dihunuskan. Dia datang dengan mata dan muka merah seolah-olah sedang mabuk, menandakan kemarahan yang menyala. Dia duduk tegak di atas untanya. Kemudian setelah dia sampai di masjid, turunlah ia dan mengikat untanya. Saat itu, Rasulullah ada di dalam rumah. Dengan cepat Umar Al-Khatthab berlari menuju ke sana dan masuk ke dalam rumah dan setengah berseru kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah! Itulah seteru Allah, Umair bin Wahab, yang telah datang dengan menghunuskan pedangnya mencarimu!” Umar lalu membawa Umair masuk menghadap Nabi s.a.w. Akan tetapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bagai harimau yang kehilangan gigi, Umair sama sekali tidak bergerak ketika tali pedang beracunnya dipegang Umar. Ada ketakutan yang tidak dapat disembunyikan ketika Umair berhadapan dengan Umar. Dia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sesampainya Umar dan Umair di hadapan Nabi s.a.w., baginda pun mengingatkan sikap Umar yang kurang bersahabat. “Lepaskanlah dia, wahai Umar!” Dan Umar pun patuh. “Selamat pagi untukmu, hai Muhammad!” tegur Umair. Ucapan penghormatan yang lazim dilakukan masyarakat jahiliyah. “Sesungguhnya Allah s.w.t. telah memuliakan kami dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari pada ucapanmu itu Umair. Penghormatan itu ialah salam...(Assalamu’ alaikum),” sambut Rasulullah s.a.w. “Dan gerangan apa yang membawamu kemari?” tanya Nabi s.a.w. “Aku datang kemari ini hendak bertemu dengan anakku yang sekarang ada di tanganmu, hai Muhammad.”
“Tidak! Sama sekali bukan itu alasannya. Berkata jujurlah dengan apa yang hendak kau katakan. Jangan berdusta.” “Sungguh. Aku hendak bertemu dengan anakku, dan aku ingin meminta kepadamu agar kau berbuat baik kepada anakku.” “Tapi, apa maksudnya dengan pedang yang kau bawa itu? Kenapa kau meminta anakmu sambil menghunuskan pedang?” “Pedang ini tidak ada gunanya sedikit pun. Semoga Allah menjelekkan pedang ini.” Umair berkata ragu-ragu setengah takut. Dia tak dapat menyembunyikan maksud kedatangannya yang tidak hanya ingin membebaskan anaknya tetapi juga untuk membunuh Rasulullah. “Tidak begitu Umair! Dan apakah kau mahu membenarkan ucapanku jika aku mengatakan yang sebenarnya motif di balik kedatanganmu ini?”
“Sungguh Muhammad, aku tidak datang kemari melainkan untuk itu.” Aroma ketegangan segera dikendurkan Nabi s.a.w. seraya tersenyum melihat tingkah Umair. “Cubalah dengarkan kata-kataku! Beberapa saat yang lalu, kau duduk bersama-sama Shafwan bin Umayyah di Hijr, lalu kau dan Shafwan menyebut-nyebut kaum Quraisy yang tertanam semua jasadnya di telaga Badar. Selanjutnya, kau mengatakan begini dan begitu dan Shafwan pun juga berkata begini dan begitu, lantas kau menyahutnya, bukankah begitu?” Keterangan Nabi s.a.w. sedikitpun tidak berselisih dari apa yang diperbincangkan Umair dan Shafwan. “Hei, mengapa kau tahu begitu jelas dan terperinci? Padahal waktu itu tidak seorangpun yang tahu!” “Ya tentu saja aku tahu, kerana ada yang memberitahukanku. Dan betulkah semua yang aku katakan itu?” Kehairanan yang berubah menjadi kekaguman itu membuat benih kebencian di hati Umair mencair, bahkan menghilang. Tercetus rasa kagum pada peribadi Rasulullah s.a.w. yang hangat dan serba tahu. Maka seketika itu juga ia memutuskan untuk memeluk agama Muhammad. “Anaa asyhadu annaka Rasulullah, saya menyaksikan bahawa sesungguhnya engkau memang utusan Allah!” “Sungguh, aku dulu memang mendustakan engkau, Muhammad, dengan segala apa yang telah kau datangkan dari langit dan segala yang diturunkan atasmu. Ehwal yang kau katakan tadi, sungguh ketika aku bercakap-cakap dengan Shafwan, tidak seorangpun yang tahu melainkan aku dan Shafwan. Tapi demi Allah, aku sekarang mengerti dan sangat percaya bahawa segala apa yang datang kepadamu itu tidak lain dari Allah sendiri.”
Selanjutnya dapatkan Hidayah Mac 2011 di pasaran...
Sunday, March 6, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment