Tuesday, May 10, 2011

Surat 'Sakti' Ibnu Taimiyah Untuk Raja

SEPUCUK surat pendek yang dikirimkan Ibnu Taimiyah benar-benar menggetarkan hati raja. Padahal, sebelumnya, nyaris raja sudah mengalah dan lebih memilih meninggalkan daerah kekuasaannya untuk menyelamatkan diri dari amukan musuh. Tetapi, coretan Ibnu Taimiyah yang mengobarkan semangat jihad dan berbau ‘ancaman’ itu sanggup menyedarkan kembali dirinya ehwal pentingnya mempertahankan negeri.

Mencari Jalan Keluar
Lelaki tua dengan sorot mata tajam itu menggerakkan kedua tangannya. Masih terbayang di kepalanya tentang peristiwa tragis 30 tahun silam. Saat itu, Tartar yang ganas mengamuk bagai angin puting beliung dari arah Timur.
Semua penduduk meninggalkan kota dan kampung yang sudah penuh dengan lautan api. Tidak cukup di situ, bala tentara Tartar juga membangun ‘piramid’ dari tengkorak manusia korban pembunuhan. Banjir darah menggenangi setiap tempat. Jalan-jalan dilumuri warna merah yang mengerikan. Lelaki bernama Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah itu masih teringat ayah, ibu dan beberapa anggota keluarganya yang masih tersisa. Mereka melarikan diri bersama jutaan orang yang takut mati dan menggantungkan diri pada nasib. Ia juga teringat seorang kanak-kanak yang kurus kering, membelalakkan matanya kerana takut dan cemas seraya bertanya ibunya, “Kenapa kita meninggalkan tanah kelahiran dan tempat kita,?” Tak ada jawapan yang ia dengar kecuali teriakan-teriakan orang yang panik, tatapan sedih, putus asa, keluhan, kematian dan darah. Disekanya air mata yang hampir menitis. Kemudian ia bangkit. “Saudara-saudara tahu, apa yang terjadi hari ini?” tanyanya tegas.
“Yang ia maksudkan adalah serigala manusia yang siap menerkam kita di luar Damaskus (Damsyik) sambil menjulurkan lidahnya seperti ular kotor yang menghisap darah kita,” bisik salah seorang. “Bukan, Saudara. Bukan Tartar yang kumaksud,” sahut Ibnu Taimiyah sambil menggelengkan kepalanya. “Maksud Guru?”
“Yang kumaksudkan, perpecahan di antara kita adalah sumber malapetaka dan awal kekalahan.” Ibnu Taimiyah diam sesaat. Lalu melanjutkan kata-katanya dengan sedih, “Lihatlah! Kaum Muslimin telah bercerai-berai. Mereka saling bermusuhan. Apakah penduduk Damaskus akan selamanya menjadi pelarian?” Ibnu Taimiyah menganggap pernyataan sikap sudah mendesak dilakukan. Penyebab krisis yang hampir menjatuhkan mereka ke dalam bahaya besar harus segera dilenyapkan. Ia merasa bertanggungjawab atas semua ini, kerana ia dianggap pemimpin tanpa mahkota yang punya kedekatan dan dipercayai masyarakat. Ia harus melakukan sesuatu sampai badai krisis ini berhenti. Tentera Tartar yang berkuasa selama 30 tahun harus dikalahkan. “Aku ingin ada seseorang yang menyebarkan berita di kota,” kata Ibnu Taimiyah seraya menoleh kepada para sahabatnya.
“Kami siap,” jawab salah seorang. “Beritahu saja, `Hai Penduduk Damaskus! Jangan sampai ada yang bepergian tanpa memakai tanda pengenal.” “Apa Guru yakin, cara ini berkesan untuk mencegah mereka supaya tidak melarikan diri?” “Kita kepung semua penjuru. Para penjaga yang meronda di kota harus siap siaga. Aku sendiri akan menyusur jalan-jalan kota, pasar-pasar dan masjid-masjid serta mengajak penduduk untuk berjihad dan berjuang mati-matian untuk mempertahankan negeri dan akidah kita.” “Ini perang kesabaran, Guru. Kita harus bersabar sampai Nasir dan pasukannya tiba,” salah seorang berkata. “Sabar macam apa? Sementara tentera Tartar menyerang seperti halilintar yang menyambar-nyambar. Bergerak dengan kecepatan tinggi dan tahu-tahu sudah ada di hadapan lawan. Kita harus seperti kura-kura, harus cepat menghimpun kekuatan,” seru Ibnu Taimiyah. Saat itu, masuklah Syarafuddin, saudara kandung Ibnu Taimiyah. “Ahmad, ada utusan datang dari Mesir,” katanya terburu-buru. “Assalamu’alaikum, Kawan. Ada khabar apa? Beritahulah!” ucap Ibnu Taimiyah tatkala melihatnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab si utusan. “Ada berita baikkah?” “Berita buruk, Tuan.” Utusan itu diam sejenak lalu berkata, “Habis sudah harapan kita, Tuan. Pasukan Mesir telah kembali ke Kaherah kerana takluk. Nasiruddin memilih menyelamatkan diri dan meninggalkan Syam.” Ibnu Taimiyah terkejut. Kesedihan menggelayut di wajahnya. “Melarikan diri? Bodoh!”

Selanjutnya dapatkan Hidayah Mei 2011 di pasaran...

No comments: