Wednesday, May 11, 2011

Tragedi Kisah Dua Al-Hafiz

PETANG itu terasa begitu sejuk bagi Suryaman, 34. Kesejukan itu bukan kerana hujan yang cukup lebat dan bukan kerana penghawa dingin di ruang atasnya saja, tetapi juga kerana keputusan ‘dingin’ pimpinan perusahaannya itu. “Malam ini, kamu harus memimpin penggalian dua buah kubur di Tanah Perkuburan Umum itu,” perintah Supangat. Suryaman agak keengganan. Dia menggumamkan sesuatu. “Putusan itu tak sesuai dengan hasil mesyuarat pagi tadi. Kenapa putusan itu berubah begitu cepat? Ada apa-apakah ini?” bisik batinnya yang tidak dapat menerima. “Saya percayakan kepada kamu, Suryaman,” tegas ketuanya itu lagi. “Kamu pasti dapat mengarahkan anak buahmu untuk bekerja cepat.” Suryaman mengangguk-angguk, tak bercakap apa-apa. Sebenarnya, pekerjaan membongkar kuburan lama bukanlah hal baru baginya. Sebagai seorang supervisor di sebuah syarikat yang bergerak dalam bidang pembangunan, ia sering dipercayai untuk mengurus pembebasan tanah beserta segala hal yang menyangkut dengan tanah yang hendak dibebaskannya itu. Dan memindahkan jenazah ke tanah perkuburan lain adalah salah satu dari tugasnya. Sebabnya, tanah yang akan dibangunkan taman perumahan itu kerapkali adalah melibatkan tanah-tanah perkuburan yang jenazah-jenazahnya harus dipindahkan. Pekerjaan itu selalu dilakukannya pada malam hari. Alasan utamanya untuk menghindari atau menarik perhatian masyarakat setempat atas pekerjaan yang dilakukannya. Kalau masyarakat sekitar ikut menyaksikan proses pemindahan jenazah itu, bukan mustahil, hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Terlebih jika masyarakat menyaksikan sesuatu yang aneh saat penggalian kubur dilakukan, maka hal-hal aneh yang remeh temeh itu, akan menjadi sebuah berita besar dan akan menyebar begitu cepat, sehingga memunculkan reaksi yang bermacam-macam. “Kamu siap melakukannya malam ini, Suryaman?” Suryaman mengangguk tanda setuju. “Semua izin sudah diuruskan. Jika ada sesuatu yang tidak diinginkan, kamu boleh melapor ke pegawai berkenaan terdekat,” jelas Supangat. Suryaman kembali menganggukkan kepalanya.

Penggalian Yang Menegangkan
Selepas isyak, Suryaman dan lima orang para pekerjanya sudah berada di kawasan tanah perkuburan berkenaan. Segala kelengkapan membongkar semula dua kubur lama itu untuk mengumpulkan tulang belulang jenazah sudah disiapkan. Sebuah kenderaan juga sudah tersedia untuk mengangkut tulang-belulang yang sudah terkumpul ke tempat yang sudah ditentukan. Cuaca malam itu begitu sejuk. Suryaman nampak tak bergairah sangat dan lebih banyak termenung saat berada di kawasan tanah perkuburan itu. “Nampak seperti tak bersemangat aje, ada apa-apa ke bang?” tanya salah seorang anak buahnya separuh bergurau.
Suryaman tersenyum mendengar teguran anak buahnya itu. “Lebih baik kita mulai saja. Semakin cepat kita mula, makin cepat kerja ini dapat kita selesaikan.” “Dan semakin cepat kita pulang,” “Ya.. ya. Kita mulai sekarang,” sahut Suryaman. “Penggalian di sisi Timur, saya yang uruskan. Dan di sebelah Utara, Kasmir yang jadi ketuanya,” putus Suryaman. Keputusan itu segera dipatuhi. Dua kumpulan penggali langsung terbahagi dua dan menjalani tugas masing-masing. Angin malam yang basah berhembus mengiringi pekerjaan Suryaman dan kawan-kawan.
Kesejukan semakin kuat membungkus. Keadaan seperti itu, bagi kawan-kawan Suryaman tidaklah menganggu, sebab dengan menggali dan terus bergerak, hawa dingin yang membungkus tubuh mereka bertukar dengan peluh membasahi tubuh. Namun, hal itu tak terjadi bagi Suryaman. Selaku ketua penggalian, ia lebih banyak melihat dan mengatur saja kawan-kawannya bekerja sehingga, hawa sejuk itu tetap dirasakannya. Selain bergelut dengan rasa dingin, Suryaman juga bergelut dengan satu ketegangan yang ia sendiri tak tahu penyebabnya. Di sela ketegangannya itu, seorang penggali berteriak. “Aduh! Bau busuk apa ini?” Penggali itu melepaskan cangkul dan menekup hidungnya. Reaksi yang sama juga dilakukan temannya, sehingga kerja menggali terhenti sebentar. Bau busuk yang menyengat membuat dua orang penggali itu mencari sehelai kain untuk menutup hidung. Kerana tak ada kain, terpaksa mereka membuka sarung kaki yang mereka pakai untuk menutup hidung. Suryaman pun berusaha menutup hidungnya dengan sapu tangan. Namun, setebal apa pun sapu tangannya, bau busuk itu tetap menerobos indera penciumannya. “Bagaimana, bang? Nak terus ke tidak ni..?” tanya anak buah Suryaman.
“Teruskan!” perintah Suryaman. Mereka berdua terus bekerja. Namun, salah satu dari mereka kembali berteriak. “Jenazah utuh!” suara keras itu membuat Suryaman melongokkan kepalanya lebih jauh. Dan ia melihat tangan jenazah yang utuh dengan daging dan kulit masih bagus. “Teruskan penggalian! Tapi hati-hatilah, jangan sampai jenazah itu rosak!” teriak Suryaman seraya perasaannya kembali tegang. Dua penggali kubur itu bekerja dengan sangat hati-hati. Namun pekerjaan itu meraka rasakan sangat menyeksan. Selain aroma busuk yang membuat dada sesak, pemandangan dari jenazah yang ditemukan membuat mereka takut. Wajah jenazah itu berbulu dengan kuku-kuku tangan yang panjang membelit sebahagian dada. Walaupun dibayangi rasa takut, Suryaman dan dua pekerjanya terus melakukan pekerjaan, mereka secara perlahan mengangkat dan meletakkan jenazah itu di atas gundukan galian tanah yang masih basah. Malam itu, di atas gundukan tanah yang agak basah, terbujur kaku sekujur jenazah yang sudah dikebumikan belasan tahun, tetapi jasadnya masih bagus. Hanya saja, jasad itu berbau busuk, wajahnya seram dan ditumbuhi bulu. Kuku-kuku tangannya pun tampak panjang, membelit sebahagian dadanya.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Mei 2011 di pasaran...

No comments: