Monday, January 9, 2012

Melihat Wajah-Wajah Binatang Di Jabal Rahmah

PADA sembilan Zulhijjah di separuh kedua abad pertama Hijrah, ratusan ribu kaum muslimin berkumpul di kawasan Jabal Rahmah. Gemuruh zikir dan doa terdengar dimana-mana. Ali bin Husain bertanya kepada Zuhri: “Berapa kira-kira orang-orang yang wukuf di sini.” Zuhri lalu menjawab: “Saya perkirakan ada empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya berhaji, menuju Allah dengan harta mereka dan memanggil namaNya dengan teriakan mereka.” Ali bin Husain lalu memberi reaksi: “Hai Zuhri, sedikit sekali yang haji dan banyak sekali teriakan.”
Tentu saja, Zuhri terhairan-hairan atas pernyataan Ali tersebut. “Mereka itu semuanya berhaji, apakah itu sedikit?” tanyanya kemudian kepada Ali agak gusar. Lalu, Ali meminta Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Ia mengusap wajah Zuhri dan menyuruhnya melihat ke sekelilingnya. Ia terkejut. Kini, ia melihat monyet-monyet tengah berkeliaran seraya menjerit-jerit. Dan ternyata, memang, hanya sedikit manusia di antara kerumunan monyet tersebut. Lalu, Ali mengusap lagi wajah Zuhri untuk kedua kalinya. Ia menyaksikan babi-babi dan sedikit sekali manusia. Pada kali yang ketiga, ia mengamati banyaknya serigala dan sedikitnya manusia. Zuhri lalu berkata kepada Ali: “Bukti-buktimu membuatku takut. Keajaibanmu membuatku ngeri.” [Lihat Memaknai Haji, KH. Jalaluddin Rakhmat. Sumber: www.spirithaji.com] Kisah yang dinukil KH. Jalaluddin Rakhmat dari kitab Al-Hajj fi Al-Kitab wa Al-Sunnah memang bukan kali pertama saya baca. Dalam buku lainnya yang berjudul Haji, karya cendekiawan muslim Ali Syari’ati, saya juga pernah membaca ehwal serupa. Sementara itu, di luar buku, saya pun kerapkali mendapatkan maklumat dari beberapa kiai sekitar penampakan jemaah haji dalam rupa yang bukan manusia: wajah-wajah binatang. Barangkali, di antara pembaca juga pernah mendapatkan maklumat yang hamper sama. Sebetulnya, tidak sulit membuktikannya. Secara lahiriah, tengok saja orang-orang yang anda kenal atau pun anda tidak kenal yang biasa pergi haji; banyak di antara mereka yang kelakuannya tidak pernah berubah. Ada yang masih melakukan rasuah meski telah menunaikan haji berkali-kali. Ada yang masih suka berkhianat meski serban haji melekat di kepalanya. Ada banyak ketidaksesuaian antara gelar hajinya dengan laku kesehariannya. Menurut pendapat penulis, orang-orang seperti itulah yang barangkali dilihat Zuhri saat berhaji.
Sebagai muslim, saya memang belum menunaikan rukun Islam kelima itu, tapi alhamdulillah saya pernah menjejakkan kaki di Tanah Suci untuk berumrah setahun lalu. Dari pengalaman selama berumrah itu meyakinkan saya bahawa, agaknya, huraian Kiai Jalaluddin atau Ali Syari’ati ada benarnya. Bukan, bukan kerana saya melihat penampakan manusia yang berwajah haiwan saat di depan Kaabah. Tapi, saya melihat sendiri betapa banyak jemaah umrah yang menjadikan Tanah Suci sebagai ladang perniagaan. Misalnya, banyak jemaah yang meminta bayaran saat menolong jemaah lainnya yang ingin mencium Hajar Aswad. Ada juga peristiwa menjijikkan seperti pelecehan seksual yang menimpa jemaah muslimah saat tawaf di depan Kaabah! Ditambah lagi, maklumat dikuatkan oleh para pembimbing haji dan umrah yang saya kenal selama di Tanah Suci bahawa kejadian tersebut sudah tidak aneh. Sungguh ironis memang. Tapi, begitulah faktanya. Belum lagi hal-hal tersembunyi di balik “keruhnya” niat setiap jemaah yang menunaikan haji atau umrah. Kerana, wajar bila gelar haji mabrur itu sebenarnya hanya sedikit disandang hujjaj [jemaah haji]. Sebab kemabruran haji seseorang itu kelak ganjarannya adalah syurga Allah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad s.a.w.: “Dan tidaklah balasan haji mabrur itu kecuali syurga.” Dalam sebuah tulisan yang bersumber di laman www.gusmus.net, KH A. Mustofa Bisri pernah menyinggung tentang kemabruran haji. Ia menuliskan bahawa ada riwayat yang menyebutkan pertanyaan para sahabat kala Nabi Muhammad s.a.w. menyebut-nyebut seputar haji mabrur itu: “Apakah kemabruran haji itu, ya Rasulallah?”. Ternyata, jawapan Rasulullah s.a.w. itu tidak berhubungan dengan tawaf, sa’i, dan sebagainya. Tapi, justeru yang ada hubungannya dengan pergaulan dengan sesama jemaah yang sama-sama beribadah, seperti menebarkan salam dan memberikan pertolongan. Menurut kiai yang sehari-hari dipanggil Gus Mus tersebut, “Bila riwayat ini dianggap dhaif, kita masih boleh melihat sunnah Rasul saat melakukan ibadah haji. Bagaimana sikap tawaduk, kemurahan, kelembutan, dan hal-hal lain yang menunjukkan penyerahan diri baginda sebagai hamba kepada Tuhan dan pergaulan baginda kepada sesama hambaNya.”
Boleh jadi, semangat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan kemabruran tanpa memahami makna kemabruran itu sendiri dapat menyeret jemaah haji kepada sikap egois dan mahu ‘menang sendiri’. Lihatlah mereka yang berusaha mencium Hajar Aswad itu, misalnya. Alangkah ironis. Mencium Hajar Aswad paling tinggi hukumnya adalah sunnah, tapi mereka sampai tergamak menyiku saudara-saudara mereka sendiri yang berada di kanan-kirinya. Bagaimana berusaha melakukan sunnah dengan berbuat yang haram? Jangan-jangan, dalam banyak hal lain, kita juga hanya bergantung pada semangat yang menggebu dan mengabaikan pemahaman.”

Selanjutnya dapatkan Hidayah Januari 2012 di pasaran...

No comments: