PERANG, darah dan air mata merupakan bahagian tak terpisahkan dari rentetan panjang tersebarnya Islam di jazirah Arab. Itu terjadi kerana para pemuka agama, pemimpin dan cerdik pandai kala itu tak ingin Islam sampai menolak kepercayaan nenek moyang mereka yang telah diwarisi secara turun-temurun. Sebab itu, cara apa pun mereka lakukan agar Islam tak tersebar di muka bumi. Kaum muslim saat itu benar-benar dihadapkan pada batu ujian yang teramat berat. Terutama para sahabat yang menyertai dakwah Rasulullah s.a.w. Dengan keimanan yang baru saja merekah, mereka harus siap menghadapi terpaan angin kencang yang tiada pernah berhenti. Kaum kafir, musyrikin dan kelompok-kelompok pembenci Rasulullah tak segan menyeksa bilamana mereka kedapatan menjadi pengikut Rasulullah. Meski begitu, keimanan yang tertancap sudah benar-benar kukuh. Sehingga segala bentuk pengorbanan siap dilakukan asalkan mereka tetap dalam naungan Islam. Sikap yang demikian tak terkecuali ditunjukkan Al-Barra’ bin Malik, sahabat yang berani menentang badai meskipun harus mengorbankan nyawa. Al-Barra’ bin Malik masih bersaudara dengan Anas bin Malik, pembantu Rasulullah. Rambutnya kerinting. Tubuhnya kurus, dan kulitnya hitam. Jika dilihat dari bentuk tubuhnya, orang tidak akan percaya kalau dia mampu menewaskan ratusan kaum musyrikin hanya dalam beberapa kali perang satu lawan satu.
Memerangi Orang-Orang Murtad
Ketika Rasulullah s.a.w. wafat dan kaum muslimin dipimpin khalifah Abu Bakar Shiddiq, beberapa kabilah Arab murtad dari Islam. Tinggal beberapa kabilah saja yang tetap teguh mempertahankan keimanan dan mantap memeluk Islam. Menghadapi keadaan ini, Abu Bakar menghendaki agar ancaman terhadap syiar Islam segera dihadapi sampai selesai. Untuk itu, dia membentuk pasukan yang berasal dari kaum Muhajirin dan Anshar. Para pejuang Islam itu segera dikirim ke seluruh jazirah Arab guna mengembalikan orang-orang yang murtad ke jalan kebenaran, iaitu Islam, atau memerangi siapa saja yang membangkang. Yang paling berbahaya diantara kelompok tersebut adalah Bani Hanifah yang dipimpin Musailamah Al Kadzdzab. Jumlah mereka tidak kurang dari 40,000 orang, terdiri dari perajurit-perajurit terlatih dan berpengalaman dalam berperang. Motif kemurtadan mereka, meski demikian, ternyata bukan dilatarbelakangi kerana ketokohan Musailamah Al Kadzdzab yang mendakwakan dirinya sebagai nabi palsu. Namun kerana fanatik kesukuanlah yang menjadi alasan utama mereka keluar dari Islam. “Kami tahu bahawa Musailamah pembohong dan Muhammad itu benar. Tetapi kebohongan Bani Rabi’ah (Musailamah Al Kadzdzab) lebih saya sukai daripada kebenaran Bani Mudhar (Muhammad s.a.w.),” yakin sebahagian mereka. Gelombang kemurtadan tersebut pun segera dicabar. Sekelompok pasukan muslimin untuk pertama kalinya menyerang Musailamah Al Kadzdzab di bawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal. Sayang, misi perdana tersebut gagal. Musailamah Al Kadzdzab dan pasukannya lebih kukuh sehingga mereka mampu membuat pasukan muslim menghadapi masalah dan Ikrimah pun syahid di medan jihad. Melihat kegagalan pasukan tersebut, Khalifah Abu Bakar tidak berputus asa. Beliau kembali mengutus pasukan. Kali ini, beliau menunjukkan Khalid bin Walid, sahabat yang dijuluki “si Pedang Allah” dan tidak pernah sekalipun kalah dalam peperangan. Dalam pasukan itu terdapat seorang sahabat yang terkenal memiliki keberanian luar biasa, yakni Al Barra’ bin Malik. Pertempuran untuk kedua kalinya terjadi lagi. Kali ini, pasukan Khalid berhadapan dengan pasukan Musailamah di Yamamah. Tanpa diduga, pasukan Musailamah masih tetap lebih unggul. Dan kembali, mereka dapat mendesak pasukan muslim. Bahkan mereka berhasil menyerbu perkhemahan kaum muslimin. Isteri Khalid bin Walid malah nyaris terbunuh seandainya tidak sempat diselamatkan para pengawal.
Melihat keadaan yang genting itu, Khalid bin Walid segera mengatur pasukannya untuk kembali. Kaum Muhajirin dan Anshar serta para perajurit yang terdiri dari para pemuda dipisahkan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok, dikepalai oleh seorang pemimpin. Taktik ini dimaksudkan agar Khalid lebih dapat mengawasi kesanggupan masing-masing kelompok dan mengetahui kekuatan pasukannya. Ketika dua pasukan kembali bertemu, tentara muslimin memperlihatkan perubahan baru kemampuan mereka. Keadaan kini seakan-akan berbalik. Jika sebelumnya pasukan musuh menyerang, tentera Musailamah kini lebih banyak bertahan di medan tempur. Sementara itu kaum muslimin terus menunjukkan kegigihan mereka. Mereka bertempur tak kenal takut, seakan-akan setiap orang memiliki ‘simpanan’ ribuan nyawa. Tsabit bin Qais yang menjulang bendera kaum muslimin, ketika itu, bertempur dengan gagah berani. Tubuhnya ia lilitkan dengan kain kafan, lalu digalinya lubang setinggi betis dimana dari dalam lubang tersebut dia bertempur sambil mengebarkan bendera Islam sampai dia terbunuh sebagai syahid. Begitu juga dengan Zaid bin Khattab. Dia selalu berseru mengobarkan semangat pasukan muslimin. “Wahai kaum muslimin, bertempurlah dengan gigih! Bunuh musuh-musuh kalian dan terus maju! Demi Allah, aku tidak akan berbicara lagi setelah ini sampai Musailamah Al-Kadzdzab mati atau aku yang syahid menemui Allah.” Dan tak lama, dia pun syahid dalam pertempuran tersebut. Salim, bekas hamba Abu Hudzaifah, pembawa bendera kaum Muhajirin, juga menemui kesyahidan. Kaum muslimin pada awalnya menyangsikan keberaniannya. Namun dengan yakin ia berkata, “Demi Allah, kalau kalian mengkhuatirkanku, percuma aku bawa bendera al-Quran!” Lalu dengan gagah berani dia pun maju dan gugur sebagai syahid. Tapi kisah “kesyahidan” Al Barra’ bin Malik lebih dramatis lagi di banding ketiganya. Ketika Khalid bin Walid melihat api pertempuran semakin berkobar, dia segera berseru kepada Al-Barra’. “Wahai Al Barra’, segera kerahkan kaum Anshar!” Saat itu juga Al Barra’ berteriak memanggil kaumnya. “Wahai kaum Anshar, jangan pernah kalian berfikir untuk kembali ke Madinah! Tidak ada lagi Madinah setelah hari ini. Ingatlah Allah! Ingatlah syurga!” Selesai berkata begitu, dia bergerak maju menekan mundur kaum musyrikin bersama perajurit Anshar. Pedangnya berkelebat, bersilang lincah, menebas musuh-musuh Allah. Melihat perajuritnya banyak berguguran, Musailamah dan kawan-kawannya menjadi gentar. Mereka lari ketakutan dan berlindung di sebuah benteng yang terkenal dalam sejarah dengan nama ‘Kebun Maut’ (hadiqatul maut). ‘Kebun Maut’ merupakan benteng terakhir bagi Musailamah dan pasukannya. Pagarnya tinggi dan kukuh. Musailamah dan pasukannya mengunci pintu rapat-rapat dari dalam. Dan dari puncak, mereka menghujani kaum muslimin yang berusaha menerobos masuk dengan panah! Menghadapi hal itu, kaum muslimin sempat kebingungan. Namun dalam situasi genting itu, terlintas idea ‘berani mati’ dalam benak Al Barra’. “Angkat aku dengan pancangan kayu, dan lindungi dengan perisai dari panah-panah musuh!” teriaknya pada pasukan muslim.
“Segera, lemparkan aku ke dalam benteng musuh! Biarkan aku syahid untuk membukakan pintu gerbang itu agar kalian boleh menyerbu masuk!” perintahnya lagi. Tanpa fikir panjang, sekejap saja pasukan muslim mengangkat tubuh Al Barra‘ ke atas pancangan kayu. Tubuhnya yang agak ringan dengan mudah diangkat oleh sepuluh orang temannya dan dilemparkan ke dalam benteng musuh. Tubuh Al Barra’ sekejap meluncur cepat ke pintu benteng bahagian dalam. Dan tanpa menunggu waktu, dia buka benteng tersebut sehingga pasukan muslimin yang sedari tadi telah menunggu dari luar segera menyerbu masuk
Selanjutnya dapatkan Hidayah Ogos 2011 di pasaran...
Monday, August 8, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment