Monday, July 8, 2013

Mati Syahid Menentang Tentera Jepun

Bagi masyarakat Tasikmalaya, nama Kiai Haji Zaenal Mustofa begitu akrab di lubuk sanubari. Meski nama itu jasadnya telah tiada, tapi sosoknya sentiasa menginspirasi sepanjang zaman. Tidak hanya di masa lalu, tapi juga kini, bahkan hingga akan datang. Semangat juang dan pengorbanannya dalam melawan kezaliman dan ketidakadilan ia kobarkan hingga hayat menutup gerak langkahnya. Kiai Zaenal Mustopa, yang lahir di Singaparna tahun 1899 dan meninggal dunia usai dieksekusi Jepun pada 28 Mac 1944 di Jakarta, adalah sosok pahlawan nasional. Dalam buku-buku sejarah di Indonesia, kita mungkin mengenalnya sebagai sosok pahlawan nasional, kerana sejak 6 November 1972 ia dikukuhkan oleh pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional. Namun, di atas pengukuhan formal itu, sosoknya ternyata melebihi itu. Ia tidak hanya berjuang untuk negaranya, tapi juga untuk umat Islam. Kiai Zaenal bukan saja pejuang kemerdekaan, tapi juga pejuang bagi kaum santri/para pelajar pondok. Maka tak hairanlah, penentangan yang ia kobarkan bermarkas di dalam pondok-pondok pesantren. Ia membangun dan memimpin pondok pesantren di Tasikmalaya. Ia mendidik para pelajar pondok tidak hanya ilmu agama, tapi juga memupuk semangat patriotik kepada para pelajarnya. Kerana, seyugianya, para pelajar pondok tidak boleh diam ketika kezaliman dan kemunkaran terjadi di sekitarnya. Para pelajar harus menterjemahkan semangat jihad dalam melawan kezaliman bangsa Belanda dan Jepun. Seperti Rasulullah s.a.w. yang siap melawan kezaliman yang dilakukan Bangsa Quraisy atas diri umat Islam. Kiai Zaenal, yang nama kecilnya adalah Hudaeni, adalah sosok ulama yang gigih. Ia memperdalami ilmu agama sejak kecil. Ia memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, abang sepupunya, yang dikenal dengan nama Kiai Haji Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian memondok di pondok Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di pondok Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama lebih lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren lainnya. Kerana itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas. Pada saat ia berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji, ia dapat berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan muzakarah soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Hubungan dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Maka, sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pondok pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 ia juga mendirikan pondok pesantren di Sukahideung. Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka, sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya. Tahun 1933, ia menganggotai Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan dilantik sebagai Wakil Rais Syuriah NU Cabang Tasikmalaya. Kiai Zaenal tidak hanya dikenali sebagai seorang pejuang yang pantang mundur dalam melakukan penentangan pada Belanda secara terbuka, ia juga seorang ulama tulen yang karismatik. Ceramah-ceramahnya mengobarkan semangat para pelajar pondok untuk melakukan penentangan, baik secara tertutup mahupun terbuka.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Julai 2013 di pasaran...

No comments: