Monday, July 8, 2013

Wasiat Terakhir Nabi Ya'qub

WAKTU itu, Nabi Ishaq a.s. sudah lanjut usianya. Ada segumpal keinginan kuat di dalam hatinya untuk merasakan makanan istimewa. Isterinya yang tahu keinginan itu segera meminta Nabi Ya‘qub menyembelih kambing, memasak bahkan kemudian menyuguhkan hidangan istimewa itu di hadapan ayahnya. Setelah menikmati daging itu, Nabi Ishaq merasa senang. Apa yang diinginkan terwujud. Nabi Ishaq pun mendoakan Ya‘qub agar kelak menjadi anak yang terhormat dan terpandang. Saudara Ya‘qub, al-Ish, yang tahu kejadian itu ditikam rasa sakit hati dan benci terhadap Ya‘qub. Apalagi, sebelumnya ia melihat Ya‘qub lebih dicintai ibunya daripada dirinya. Peristiwa itu pun membuat ia tambah dengki terhadap Ya‘qub.
Kedengkian al-Ish itu membuat Ya‘qub merasa tidak enak. Maka, suatu hari, ia menemui ayahnya untuk  meminta pendapat. “Wahai ayahku! Tolonglah beri jalan keluar untuk masalahku ini. Bagaimana aku menghadapi saudaraku, Ish, yang membenciku, iri hati dan selalu menyindirku dengan kata-kata yang menyakitkan hati sehingga menjadikan hubungan persaudaraan kami berdua renggang dan tegang? Tidak ada saling cinta mencintai dan saling saying menyayangi. Dia marah kerana ayah memberkahi dan mendoakan aku agar aku memperoleh keturunan yang salih, rezeki yang mudah dan kehidupan yang makmur serta kemewahan. Dia menyombongkan diri dan bahkan mengancam anak-anaknya kelak akan jadi saingan berat bagi anak-anakku. Juga  ancaman lain yang mencemaskan dan menyesakkan hatiku. Tolonglah ayah, beri aku panduan; bagaimana aku harus mengatasi masalah ini; mengatasi dengan cara kekeluargaan?”
Sesaat Nabi Ishaq diam. Ia yang sudah tahu keretakan hubungan dua anak itu berusaha berfikir dengan jernih untuk mencari jalan tengah yang arif. Akhirnya, Nabi Ishaq menemukan jalan tengah.  “Wahai anakku! Kerana usiaku yang sudah lanjut, aku tidak dapat menengahi kalian berdua. Uban sudah menutupi seluruh kepalaku, badanku sudah membongkok, raut mukaku sudah kisut berkerut. Aku sudah berada di ambang pintu perpisahan dari kalian, meninggalkan dunia yang fana ini. Aku khuatir bila aku sudah meninggal, gangguan saudaramu Ish kepadamu akan kian meningkat. Ia secara terbuka akan memusuhimu, berusaha mencari kebinasaanmu,” ucap Nabi Ishaq. Sementara itu, Ya‘qub diam, mendengarkan apa yang diucapkan ayahnya. “Rasanya, jalan terbaik bagimu, menurutku, kau harus pergi meninggalkan negeri ini. Berhijrahlah ke Fadan A’raam, di daerah Iraq. Di sana itu, bermukim bapa saudaramu, saudara ibumu Laban bin Batu’il. Engkau juga boleh mengharapkan dapat dinikahkan dengan puterinya. Dengan demikian, akan jadi kuat kedudukan sosialmu, disegani dan dihormati orang kerana kedudukan mertuamu itu. Untuk itu, jangan tunggu waktu lagi! Cepatlah pergi ke sana! Dengan iringan doa, aku berharap semoga Allah memberkahi perjalananmu dan memberi rezeki yang murah dan mudah, kehidupan yang tenang dan tenteram,” lanjut Nabi Ishaq. Saranan Nabi Ishaq itu pun dipandang Ya‘qub sebagai jalan terbaik. Tak salah, jika nasihat itu merasuk dalam sanubari Ya‘qub, lantaran ia melihat anjuran itu merupakan jalan keluar dari krisis hubungan antara dia dan Ish. Apalagi, di balik saran itu, dia nantinya dapat bertemu dengan bapa saudaranya dan anggota-anggota keluarganya dari pihak ibunya. Juga, harapan boleh mendapat jodoh.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Julai 2013 di pasaran...

No comments: