Thursday, February 6, 2014

Kegersangan Sosial: Sampaikan Ilmu Dengan Lemah Lembut

SAAT ini, ada gejala kegersangan sosial, seperti berkurangnya kesantunan, kehangatan interaksi sosial, sensitiviti sosial, dan berkembangnya aksi kekerasan, termasuk kekerasan dalam berungkap/berbicara.
Kalau kita amati, betapa banyak ungkapan-ungkapan yang kasar di tengah masyarakat yang tidak jarang disampaikan oleh orang yang terhormat dalam status sosialnya. Kini, kita kadang sulit membedakan ungkapan kritik dari kalangan terpelajar atau dari kalangan yang tidak terdidik. Interaksi dan komunikasi sosial terasa sangat kering. Ini salah satu tanda terjadinya kegersangan sosial. Dikisahkan, ada seorang kiai penceramah hebat. Suaranya lantang. Auranya memukau jemaah. Cirinya, kalau ada pegawai kerajaan yang hadir, telinganya memerah. Itu akibat tajamnya kritik yang dilontarkan dengan kata-kata pedas di setiap ceramahnya. Suatu ketika, setelah kiai itu selesai berceramah, seorang pegawai mendekati sang kiai. Terjadilah dialog di antara mereka. “Pak Kiai, tuan mengenali Nabi Musa?” “Ya tentu saja, masa Kiai tidak tahu Nabi Musa. Beliau salah satu rasul yang dijuluki Kalimullah.” “Lebih mulia mana antara Nabi Musa dengan tuan?” “Jelas lebih mulia Nabi Musa. Bukan hanya nabi, tapi beliau juga rasul. Bukan hanya rasul, tapi termasuk rasul ulul azmi.” “Tuan tahu musuh Nabi Musa, Pak Kiai?” “Ya, tahu. Firaun.” “Jelek mana saya dan Firaun, Pak Kiai? “Tuan memang pegawai kerajaan sangat jahat, tapi Firaun pasti lebih jahat lagi. Dia kejam dan angkuh, bahkan mengaku sebagai Tuhan.” “Jika begitu Pak Kiai, kalau Nabi Musa lebih mulia daripada tuan dan Firaun musuhnya lebih jelek daripada saya, kenapa kalau Nabi Musa menyampaikan kritik dengan pendekatan mesra - perkataan yang lembut? Sedangkan, Pak Kiai tidak lebih mulia dibanding Nabi Musa dan saya tidak lebih jelek dibanding Firaun, tapi Pak Kiai ungkapannya sangat kasar sekali!” Kini giliran sang kiai yang memerah mukanya. Ia ingat betul pesan Tuhan kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. dalam al-Quran: “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sebab dia memerintah dengan sewenang-wenang. Kemudian berkatalah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut semoga dia akan menjadi ingat atau menjadi takut [kepada Tuhan].” (QS. Thaha [20]: 43–44).
Allah berpesan agar Musa dan Harun menggunakan tutur kata yang lembut kepada Firaun yang bengis itu. Diperlukan usaha persuasif agar inti komunikasi tercapai: supaya dia menerima seruan keduanya. Meski Firaun tidak berganjak dengan pendiriannya hingga tenggelam bersama pengikutnya di Laut Merah, tapi ajaran etika di balik peristiwa itu berlaku abadi: sampaikan kebenaran dengan ‘lemah lembut’. Mari kita semak makna ‘qaulan layyinan’ dalam kitab-kitab tafsir klasik dan moden. Qaulan layyinan adalah ungkapan yang menghindari kata-kata yang bernada kasar (lihat kitab tafsir Isamail Haqqi dan Al-Maraghi); perkataan yang lembut, halus, mudah, dan penuh keakraban (lihat Ibnu Katsir), dan mendatangkan ketenangan bagi jiwa pendengarnya (lihat kitab Alusi).

Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2014 di pasaran...

No comments: