Thursday, February 6, 2014

Menyingkap Jejak Islam Di Bangka

Kelurahan Bangka di Kecamatan Mampang Prapatan mungkin tak ramai dikenali orang jika dikaitkan dengan peta sejarah penyebaran dan perkembangan Islam di kota Jakarta. Hal itu berbeda dengan kampung atau kelurahan lain di penjuru kota Jakarta, seperti Kampung Melayu (Kecamatan Jatinegara), Condet (Kecamatan Kramat Jati), Pekojan (Kecamatan Tambora), Kwitang (Kecamatan Senen) dan Kampung Luar Batang (kecamatan Penjaringan) yang cukup dikenal luas dan memiliki gaung. Tetapi, bukan bererti di Kelurahan Bangka itu tak ada jejak Islam masa lalu yang boleh dikesani. Salah satu jejak itu boleh ditelusuri dari sebuah masjid tua yang dibangun pada abad ke 19. Sebab di Bangka, tepatnya, di pertengahan Jalan Kemang Utara pertigaan Jalan Kemang Timur, berdiri bangunan masjid berumur tua – yang sekarang ini masih dalam proses baik pulih. Bangunan masjid tersebut dalam catatan sejarah menjadi saksi akan perkembangan Islam di Kelurahan Bangka dan juga kampung-kampung sekitarnya. Masjid tua itu adalah Masjid Al Barkah. Sekilas, tidak ada yang istimewa dari bangunan masjid tersebut. Bangunannya hampir mirip dengan Masjid Demak dan masjid-masjid lain di daerah Jawa - tetapi kini dibaik pulih. Di balik bangunan tua itu, tersimpan jejak Islam yang dapat digali. Apalagi masjid tua itu dikatakan didirikan (pada tahun 1818) oleh Guru Sinin asal Banten yang dikenal sebagai seorang alim bahkan dikhabarkan diyakini sebagai wali.

Berkunjung ke Masjid Al-Barkah
Siang itu, langit Jakarta mendung. Dalam suasana yang syahdu itu, Hidayah berkunjung ke Masjid Al-Barkah di Jalan Kemang Utara, setelah belok dari Warung Buncit Raya memasuki jalan kecil Kemang Utara IX. Sebenarnya, tak mudah menemukan Masjid Al-Barkah. Sebab, jalan Kemang Utara  tak termasuk jalan besar, sehingga menjadikan keberadaan masjid ini agak susah ditemukan. Kebetulan, Hidayah sudah sering melintasi jalan Kemang Utara, dan kerap terjebak arus sesak jalan raya di pertigaan, tepat di depan Masjid Al-Barkah itu. Jadi, Hidayah sudah begitu maklum. Hanya saja belum sempat singgah. Siang itu, Hidayah singgah. Namun, saat menginjakkan kaki di halaman masjid, Hidayah sempat terpegun. Gaung Masjid Al-Barkah yang dikenal sebagai salah satu masjid tua di Jakarta ternyata tak seperti yang Hidayah bayangkan. Siang itu, masjid dalam keadaan sepi. Pintu utama masjid dikunci. Azan asar belum berkumandang. Hidayah melongok jam di dinding masjid melalui cermin jendela. Pukul 2.50 WIB. Cermin jendela penuh debu. Pintu masjid sebahagian sudah agak rapuh dan tidak mendapat perhatian. Sekilas, Hidayah  melihat sekeliling. Ada kesan yang tak boleh dimungkiri: Masjid Al Barkah terkesan tak terurus.
Tetapi keadaan itu dapat dimaklumi. Sebab, Masjid Al-Barkah masih dalam tahap pembaikan. Bangunan tingkat 2 masih belum sempurna. Bata merah yang menjadi bahan tembok tingkat 2 masih terlihat dengan jelas dan belum dilapisi. Lima minit berlalu, masjid masih terlihat sepi. Padahal, waktu asar sudah tiba. Satu dua orang datang menunaikan solat asar di teras masjid. Hidayah pun ikut solat asar di teras masjid - berjemaah dengan salah satu pengunjung yang singgah. Langit masih mendung, ketika Hidayah meninggalkan Masjid Al-Barkah. Saat pulang itu, dalam hati, Hidayah berikrar semoga suatu hari nanti berkesempatan mengunjungi Masjid Al Barkah kembali dalam suasana yang lain dan lebih mengesankan. 

Sejarah di Balik Masjid Al Barkah
Dulu, Bangka termasuk daerah pendalaman dan dikenal daerah rawa-rawa. Tapi, kerana letaknya berdekatan dengan Blok M – wilayah elit yang dirancang oleh Belanda untuk tempat kediaman ketika itu - menjadikan Bangka termasuk dalam projek pembukaan daerah-daerah baru, bahkan kemudian diperluas hingga ke Selatan Batavia (yang meliputi antara lain Kebayoran Lama, Condet, Cilandak bahkan hingga ke Depok sekarang). Keadaan saat Masjid Al-Barkah dibangun pertama kali dikatakan masih merupakan daerah pendalaman. Bahkan Masjid Al-Barkah dibangun di atas rawa-rawa yang mempunyai kedalaman satu meter. Dapat dibayangkan, bagaimana dulu masjid itu dibangun di atas daerah seperti itu. Bahkan, proses pendirian masjid ini pun tidak mudah. Saat pendirian dulu harus meminta izin dan mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari pemerintah kolonial Belanda. Dengan keadaan tanah berawa itu, pembinaan masjid ini pun awalnya cukup memprihatinkan. Waktu itu, masjid  dibangun dengan bahan seadanya dengan menggunakan daun rumbia dan batang pohon kelapa. Seiring perjalanan waktu, Masjid Al-Barkah mengalami perombakan kurang lebih 6 kali. Pada 1932, mulai digunakan papan. Kemudian mengalami perombakan lagi 1935, 1950, 1960, dan 1970.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Februari 2014 di pasaran...

No comments: