Langkah kakinya menapak di tanah-tanah berperadaban besar, menjadi saksi seterusnya bagi untaian gelombang syair yang tinggi-menderu, menuju pantai taman Ilahi, pecah dalam gelembung kristal bening, lalu tertangkap oleh mereka yang menajamkan mata dan hatinya, dalam jalan cinta. Dengan keledainya, ia berjalan perlahan diiringi oleh puteri angkatnya Kimya, Maulana Rumi, di tegur hormat oleh warga kota Konya, tulis Muriel Maufroy, pergi menemui sahabatnya di Katedral, seorang ketua gereja. Ia jalin hubungan akrab dengan ahli kitab itu. Ia pun tak lupa bersembang dengan seorang pandai besi bernama Shalahuddin, sambil menikmati bunyi besi yang dipipihkan melalui kekuatan api yang menyala. Sesekali menjeling proses pembuatan peralatan besi. Masyarakat pun melihatnya menatap penuh minat bunyi air sungai yang dipindahkan oleh kincir air ke kawasan tanaman. Di waktu malam, Rumi pun berjalan sambil menatap bintang terang yang berkedip-kedip. Dan pada musim dingin yang mengugurkan dedaunan dalam kebisuan hening kepasrahan, Maulana Rumi juga menangkap dengan perasaan tajamnya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya dalam dakapan beku musim dingin. Menatap dengan ketajaman mata, merasakan dengan kepekaan hati, tiada sesuatu yang ada dalam alam semesta yang tak memberikan pesan. Ibaratnya, sesuatu yang ada dalam semesta adalah medium pesan dan membentuk cara penumpuan, yang melingkar dalam gema menuju ke titik tertinggi, yakni Ilahi. Olah rasa dan olah batin itu di pindahkan menjadi kesedaran yang lebih tinggi, bahawa hanya “Cinta” lah yang menyebabkan sesuatu itu bergerak, dan kerana “Cinta” pula, keseimbangan bumi beserta segenap isinya berpadu harmonis, saling menghidupi dan saling mengasihi. Tanpa cinta, betapa sesuatu yang ada dalam semesta akan punah, dan minus cinta, sifat angkara manusia akan bertakhta dalam hati yang saki. Namun hanya para pejalan spiritual yang sentiasa melatih kepekaan hati saja yang mampu menangkap getar halus sekaligus tajam itu. maka, biduk cinta adalah sarana menyeberangi sang semesta.
SANG MUSAFIR SPIRITUAL
Maulana Rumi diakui oleh kebanyakkan negara sebagai putera terbaik Konya. Orang Afghan dan Parsi (Iran) selalu menyebutnya Jalaluddin Balkhi kerana keluarganya berasal dari Balkhi, sebelum berpindah ke Konya, Turki. Namun di Korasan-lah, Rumi lebih banyak menimba ilmu-ilmu keislaman. Dan di Konya-lah, ia mendapatkan nama baru setelah panggilan Maulana, yakni Rumi, yang diertikan secara keseluruhan sebagai Guru Kita dari Rum (tanah yang pada mulanya dikuasai oleh Kristian Romawi). Maulana Rumi lahir dan besar dalam situasi sejarah Islam yang mulai redup dengan kejayaannya, terutama bila Baghdad, si kota bersinar aneka kisah itu, di genangi oleh darah merah dan tinta hitam di Sungai Eufrat kerana pembunuhan beramai dan pembakaran buku pustaka ilmiah pada tahun 1258 oleh keganasan tentera perkasa primitif dari Mongolia. Dan kesultanan-kesultanan kecil, baik di Barat mahupun di Timur, mulai tumbuh mengantisipasi zaman lama yang tak mungkin di pulih kembali. Namun tanah berpijak yang penuh limpahan pesan misteri dari keagungan spiritual paduan pra dan Islam itu tiada hilang oleh ketegaran hati dan memori otak Bahauddin Walad, ayah Rumi. Dengan ketajaman hati oleh bekal ilmu tasawufnya, si ayah yang konon telah meramalkan kejatuhan Kota Seribu Satu Malam ini memindahkan keluarganya, mula-mula ke Samarkand. Sambil berhaji ke kota Makkah, Bahauddin lalu menetap di kota Damaskus (Damsyik), kota ramai dan indah kerana berbagai budayanya. Dari sini, Bahauddin kemudian menuju ke wilayah Anatolia tengah, hingga berakhir di kota Konya. Mereka disambut oleh Sultan Kaikobad, yang mengagumi seni keagamaan dari orang-orang Timur ini. Setelah ayahnya meninggal dunia, Maulana Rumi yang sudah berkeluarga dan mempunyai beberapa anak ini semakin diperkaya dengan tanah Anatolia yang tidak asing dengan kisah-kisah kebijakan Yunani mahupun Kristian timur. Kedua-duanya pun diserap untuk dijadikan guru bagi kedalaman syairnya. Mengenai indahnya Konya yang menawarkan pesona spiritual, digambarkan oleh Islamolog Annemarie Schimmel secara mengesankan. Perjalanan menuju Konya lama dipotretnya dengan laluan berupa Danau Garam (Salt Lake), dengan kemilau kristal warna biru laut oleh biasan sinar matahari yang akan tenggelam, diibanding oleh Hasan Dag, gunung yang di liputi oleh salji abadi – lambang bukit kegembiraan.
Di sini, candi kuno peninggalan persembahan buat Dewa matahari masih terjaga, bersanding dengan kompleks pekuburan kecil peninggalan abad ke 13-14. Aneka hiasan ukiran mengingatkan bahawa kematian adalah pasti, demikian pula pertemuannya dengan Munkar dan Nakir, yang mengecut hati orang (si mati) yang tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Namun gema syair Maulana memberikan resepi menyejukkan bahawa “kematian” bukanlah tragedi, melainkan berkemasnya burung bul-bul-bul “jiwa” dan burung helang “roh” menuju kebun mawar, rumah abadinya yang nantinya akan tersedia ruang hangat kerana genggaman kasih Sang Raja (Allah s.w.t.). Konya dilengkapi dengan madrasah Karatay, yang dulunya menjadi tempat sahabat Rumi, yakni Jalaluddin Karatay, seorang astronomi, tempat Maulana mendapatkan ilmu perbintangan. Juga masjid dan menara indah tempat Rumi melangsungkan solat.
Selanjutnya dapatkan Hidayah April 2011 di pasaran...
Thursday, April 7, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment