Monday, June 6, 2011

Islam Di Gujarat: Kini Jadi Golongan Minoriti

GUJARAT adalah kata yang akrab bagi para pelajar muslim di nusantara. Dalam buku sejarah sejarah Islam disebutkan Islam Nusantara dibawa oleh orang-orang dari kota ini pada abad ke 13. Walau teori ini kini dibantah banyak ilmuan yang menyebut Islam sudah ada di Indonesia sejak abad ke-7, namun Gujarat tetap menjadi kata yang tak terpisahkan dalam sejarah Islam kita di rantau ini. Kaitan Gujarat dengan Islam memang terjalin dalam lembaran sejarah yang tua. Sejarah mencatat raja Hindu sudah takluk oleh Allauddin Khilji, pemimpin dari bangsa Turki-Afghan, pada 1297. Namun Islam diyakini sudah sampai di sana enam abad sebelumnya. Sama seperti kedatangan umat Islam di Malabar, di Kerala, segera setelah Islam mulai tersebar di Semenanjung Arab, umat Islam sudah melakukan pelayaran dan kehadiran mereka terasa di wilayah pantai Gujarat. Muslim pertama sudah berlabuh di Gujarat sejak tahun 15 Hijrah atau tahun 635 Masihi ketika gabenor Bahrain mengirimkan ekspedisi ke Thana dan Bhaurch. Jalinan dengan Islam berlanjutan selama beberapa abad dalam bentuk serangan, perdagangan, dan penghijrahan. Ahli sejarah Alwi Shahab memaparkan bahawa Gujarat adalah semacam pelabuhan singgah bagi hubungan awal bangsa Arab dengan Indonesia yang terjadi sekitar abad ke-4 Masihi. Saat itu, pedagang dari Handramaut berlayar ke Nusantara dan singgah di Gujarat. Mereka membangun perkampungan yang oleh orang India dinamakan ‘Arabito’. Para pedagang Arab itu menggunakan India (Gujarat) sebagai terminal pertama sebelum ke Malaysia dan Indonesia khususnya. Masyarakat Islam Gujarat sehari-hari menggunakan bahasa Gujarati yang menjadi bahasa ibu di negara bahagian India ini. Muslim Gujarat sangat menonjol dalam industri dan perniagaan menengah dan merupakan komuniti muslim yang cukup besar. Saat pemisahan India-Pakistan banyak dari mereka berhijrah ke Pakistan dan menetap di Karachi dan Sindh. Ada juga komuniti muslim Gujarat yang kini menetap di Inggeris, terutama di kota-kota Leicester, Blackburn dan Preston. Muhammad Ali Jinnah yang mengasaskan negara Islam Pakistan berasal dari Gujarat. Warna Islam boleh kita temui dengan jelas melalui ibu kota Gujarat yakni Ahmedabad. Kota yang terletak di tepi sungai Sabarmati ini didirikan oleh Sultan Ahmed Shah pada 1411 sebagai ibu kota Kesultanan Gujarat. Kata “Ahmad” bagi kota ini terkait visi Sultan yang waktu itu mendapat ilham bahawa kota itu harus didirikan oleh empat orang bernama Ahmad yang tak pernah meninggalkan solat lima waktu. Maka dicarilah empat orang bernama Ahmad itu hingga berkumpullah Sultan Ahmad Shah I, Sheikh Ahmad Khattu dari Sarkhez, Qazi Ahmad Jod dari Patan, dan Malik Ahmad. Mereka berempat datang bersama dan mendirikan kota tersebut. Tahun 1593, Raja Mughal Akbar menaklukkan Gujarat, dan Gujarat yang tergabung dalam Kerajaan Mughal selama dua abad. Setelah kematian Raja Mughal Aurangzeb, pada tahun 1707, pemerintah Mughal mulai melemah hingga akhirnya Gujarat jatuh kepada Inggeris di akhir abad ke-19.

Pembersihan Etnik
Dari 50 juta penduduk Gujarat, 10 peratus diantaranya adalah Islam. Jika pada abad pertengahan mereka adalah majoriti, maka pada abad moden ini muslim Gujarat menjadi minoriti. Merekalah yang merasakan beratnya pertikaian besar saat Gujarat dilanda pertikaian Muslim-Hindu pada tahun 2002. Konflik ini demikian besar hingga disebut sebagai tragedi pembersihan etnik dan bahkan ada yang menyamakannya dengan tragedi holocaust yang terjadi di masa Hitler pada zaman perang dunia kedua. Guardian melaporkan beberapa monumen penting peninggalan Islam di Gujarat menjadi puing-puing dalam kerusuhan tersebut. Sekitar 2,000 orang korban jatuh dan sebahagian besar adalah muslim. Banyak masjid-masjid yang dihancurkan termasuk Al Quran tua bersejarah yang terdapat di masjid-masjid. Salah satu monumen yang dihancurkan adalah makam Vali Gujarati, seorang penyair muslim yang menggunakan bahasa Urdu. Ia meninggal dunia di Ahmedabad pada tahun 1707.
Kalangan ekstrimis Hindu menganggap yang mereka lakukan adalah upaya balas dendam sejarah. Dahulu kala, saat dinasti Mughol berkuasa, banyak kuil Hindu yang dihancurkan dan diganti dengan masjid. Itulah yang membuat mereka bersemangat untuk menghancurkan masjid untuk kemudian mereka ganti dengan kuil. Semangat ini mirip dengan tragedi pada 1992 saat mereka menghancurkan Masjid Babri yang didirikan pada abad ke-16 dan memasang patung Hanuman di reruntuhannya. Profesor Martha Nussbaum, pakar hukum dan etika dari University of Chicago di dalam bukunya The Clash Within (Harvard University Press, 2008), mensifatkan pembunuhan kaum muslim di Gujarat oleh kelompok radikal Hindu amat kejam. Yang dibantai bukan hanya wanita dan anak-anak, tapi juga janin dalam kandungan. Pemerkosaan terhadap wanita muslim juga banyak terjadi. Yang lebih parah, kerusuhan ini melibatkan jabatan polis, inteligen, atau birokrat Hindu, bahkan buku tadi menyebut nama Ketua Menteri Gujarat, Narendra Modi, dari parti Hindu, ‘Bharatiya Janata’ (BJP). Setelah kerusuhan, banyak syarikat milik muslim yang ditinggalkan, diambil alih orang-orang Hindu. Profesor Nussbaum menyesalkan peristiwa pembersihan etnik Gujarat kurang mendapat liputan media antarabangsa.
Profesor Imtiaz Ahmed, dari Jarwaharlal Nehru University di Delhi menyebut Gujarat sebenarnya memiliki tradisi toleransi yang kuat. Sultan Ahmad Shah bahkan mengahwini seorang puteri Hindu. Masjid yang ia dirikan juga memasukkan unsur-unsur Hindu. Muslim Gujarat sendiri bukanlah pendatang kerana mereka adalah “mualaf’ yang memeluk Islam. Jadi darah mereka dalah darah India juga. Hanif Lakdawala, ketua Sanchetna, sebuah LSM bertapak di Ahmedabad, menyebut ketegangan kaum dan ketidakpercayaan tetap meluas di Gujarat hari ini. Walau langkah-langkah mengatasinya, pertemuan, seminar dan hal-hal lain sudah dilakukan untuk meredam konflik, ketakutan masih terasa di Gujarat. Hanif menyebut masalahnya tak hanya hak budaya dan agama, tapi juga hak sosial dan ekonomi. Inilah yang kiranya lebih diutamakan. “Kita mesti berhenti berfikir tentang agama dan identiti sendiri dan juga fokus pada isu-isu seperti pendidikan, pengangguran, kemiskinan, hak perempuan dan kesamarataan. Dengan cara ini, kita dapat bekerja menuju suatu bentuk dialog antara masyarakat yang jauh lebih bermakna dan terkait dengan kehidupan masyarakat sehari-hari,” ujarnya dalam sebuah wawancara yang dimuat di Theamericanmuslim.com. Sikap Hanif menjadi sikap umum dari organisasi Islam di Gujarat dalam memandang konflik Hindu-Islam. Negara boleh dikatakan telah gagal dalam mengelola konflik ini. Hal ini menyebabkan timbul pemikiran ulang di kalangan muslim tentang perlunya penyusunan semula masyarakat, memberikan tekanan lebih pada pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan dialog antara kelompok masyarakat.
Sejak tragedi 2002, kalangan Islam bersedia membuka dialog dengan kelompok-kelompok sekular, LSM, dan terutama dengan Hindu sekular. Tak semua Hindu anti-Islam kerana jika itu yang terjadi, tentulah tak akan ada seorang muslim pun yang boleh hidup di Gujarat.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Jun 2011 di pasaran...

No comments: