Muhammad bin Idris as-Syafi’i adalah orang pertama yang berusaha mendefinisikan kata ‘ijtihad’ dalam bukunya ar-Risalah. Bahkan satu-satunya dari empat imam mazhab Ahli Sunnah yang memiliki peninggalan buku-buku fiqih dan ushul fiqih. Secara literal [bahasa], kata ijtihâd dalam bahasa Arab mengambil bentuk masdar tsulatsi mazid dari kata jâhada, yang artinya badzlu al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan). Ijtihad juga bermakna “mencurahkan seluruh kemampuan dalam meneliti dan mengkaji suatu perkara yang menescayakan adanya kesukaran dan kesulitan”:. (Lihat Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, II/309). Menurut Raghib Al-Isfahani, ijtihad adalah “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segala kemampuan yang dimilikinya dan menanggung semua kesulitan yang ada.” Di kalangan ulama ushul fiqih, ijtihad diistilahkan dengan “mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan.” (Lihat Al-Amidi, ibid., hlm. 309; Lihat juga: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197). Berdasarkan definisi di atas, kita boleh menyimpulkan bahawa ijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu. Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Dalam hadis, ijtihad digambarkan dengan kisah Mu’adz bin Jabal r.a. Sebelum diutus ke Yaman, Rasul mengajak Mu’adz untuk berdialog. Rasulullah bertanya kepada Mu’adz: “Bila ada masalah yang menuntutmu menyelesaikannya; bagaimana engkau akan menyelesaikannya?” “Aku akan menyelesaikannya dengan berpegangan pada Kitab Allah”, jawabnya. Rasulullah s.a.w. kembali bertanya: “Seandainya masalah yang engkau selesaikan tidak terdapat dalam Kitab Allah, apa yang kau perbuat?” “Aku akan berpegangan dengan sunnah Rasulullah”, kembali Mu’adz menjawab. “Bila masalahnya tidak kau temukan dalam Kitab Allah dan sunnah RasulNya?” tanya Nabi lagi. Mu’adz menjawab: “aku akan berijtihad dengan fikiranku sendiri”. Sepeninggalan Nabi s.a.w., banyak sahabat yang menggunakan ijtihad ketika menetapkan hukum Islam. Namun, di antara mereka yang paling tercepat melakukannya adalah Khalifah Umar bin Khattab r.a. Sementara di kalangan tabi’in adalah Rabi’ah bin Abdur Rahman dan Abu Hanifah dari kalangan tabi’it tabi’in. Bahkan Abu Hanifah dengan tegas menjadikan ra’yu [akal] sebagai ciri khas mazhabnya. Konsep ijtihad yang diamalkan oleh Ahli Sunnah dan lebih khususnya para sahabat merupakan sebuah keharusan sejarah. Sunnah dalam konsep Ahli Sunah terbatas pada Nabi Muhammad s.a.w. Hal ini membuat mereka harus segera mencari sumber lain selain dua sumber asli. Ijtihad memiliki beberapa jenis, iaitu: ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, sadudz dzariah, istishab, dan ‘urf. Menurut Syeikh Taqiyyuddin Al-Bani, orang boleh melakukan ijtihad bila memenuhi dua syarat berikut ini: Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun kaedah-kaedah hukum.
Selanjutnya dapatkan Hidayah Jun 2011 di pasaran...
Monday, June 6, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment