NAMANYA Abu Lubabah. Seorang muslim pilihan yang telah mempersembahkan diri dan nyawanya di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran. Dia dilahirkan di Yatsrib, sebuah kota yang penduduknya secara umum dikenal luhur, pemaaf, berperasaan halus dan suka berbuat baik kepada sesama insan. Ia memperisteri Khansa‘ binti Khandam al Anshariyah dari golongan Aus. Mulanya, ayah Khansa’ tidak setuju. Namun, melalui Rasulullah s.a.w. akhirnya pernikahan antara keduanya terjadi. Sebab Rasulullah langsung memerintahkan si ayah supaya memberi kebebasan pada Khansa’ dalam memilih calon suaminya sendiri. Perkahwinan tersebut membuahkan seorang anak perempuan bernama Lubabah (itulah sebab mengapa akhirnya ia dikenal dengan nama Abu Lubabah,) yang kemudian diperisteri Zaid bin Khathab. Abu Lubabah termasuk orang pertama yang masuk Islam. Ia juga salah seorang Anshar yang menghadiri Bai’at Aqabah II. Sejak pertemuannya dengan Rasulullah, ia merasa kagum sekali atas keperibadian dan keluhuran budi pekerti Rasulullah. Maka, sejak itulah, ia bagai orang baru yang menjelma dari masa lalunya. Segenap jiwa raga ia persembahkan untuk kepentingan Islam. Selang beberapa waktu, perang Badar pun pecah. Sebuah peristiwa perang yang bersejarah antara kaum musyrikin dan kaum muslimin. Abu Lubabah tahu bahawa Rasulullah telah bersiap untuk itu, maka ia pun turut menyiapkan diri dan pergi memanggul senjatanya melawan kaum kafir Quraisy. Namun, saat itu, Rasulullah tidak memberi izin. Rasulullah ingin Abu Lubabah fokus saja menjaga Madinah. Sebab penjagaan keamanan dan ketertiban kota tersebut pun tidak kurang pentingnya dari peperangan. Abu Lubabah diberi tanggungjawab memelihara keamanan dan keselamatan penduduk kota Madinah, anak-anak, kaum wanita, dan semua orang yang ada di dalamnya. Tanggungjawab agar mereka tidak kelaparan dipenuhi semua keperluannya sampai pasukan kaum muslimin kembali. Ia juga diberi amanat dalam menjaga keamanan baik mencakup makanan, buah-buahan, perkebunan dan persempadanan. Dengan penuh tanggungjawab, ia patuhi semua perintah Rasulullah sebaik mungkin. Ia pimpin kota Madinah dan juga mempersiapkan bekal yang mungkin diperlukan pasukan yang sedang berperang, serta menggalakkan pembuatan senjata perang siang dan malam, sehingga pasukan kaum muslimin memiliki persenjataan dan perbekalan yang lengkap. Tiap hari, ia pergi keluar kota Madinah untuk mengetahui keadaan kaum muslimin. Sampai akhirnya berita kemenangan kaum muslimin pun diterimanya. Bersukacita ia pergi bergegas memasuki kota untuk menyampaikan berita kemenangan tersebut. Dan penduduk kota Madinah pun menyambutnya dengan rasa syukur tak terperi. Akan tetapi, rupanya ada sekelompok penduduk yang tidak senang atas kemenangan yang diraih kaum muslimin itu. Mereka adalah segolongan kaum Yahudi yang terang–terangan selama ini mendengki kepada Rasulullah.
Perjanjian Yang Dilanggar
Baru saja usai menaklukan perang, Rasulullah dihadapkan kepada persoalan baru, yakni kaum Yahudi di Madinah yang bertindak diluar batas. Rasulullah pun lalu memerintahkan wakil-wakilnya untuk mengadakan pertemuan di sebuah pasar di perkampungan Bani Qainuqa’. “Apa yang menimpa kaum Quraisy hendaknya dijadikan sebagai pelajaran. Kalian sudah mengetahui bahawa aku adalah seorang Nabi yang diutus oleh Allah.”
“Hai Muhammad, jangan takabbur atas kemenangan yang kau peroleh melawan orang-orang yang tidak memiliki keahlian dalam peperangan,” sela kaum Yahudi saat itu. Ketegangan, setelah itu, tak dapat dihindari. Bahkan sesudah itu, terjadi juga peristiwa yang menyulut terkoyaknya perjanjian damai antara kaum Yahudi dan kaum muslim. Yakni saat seorang wanita muslimah yang sedang duduk di depan sebuah kedai perhiasan seorang Yahudi di pasar Bani Qainuqa’ sambil menunggu perhiasannya diselesaikan, tiba-tiba seorang Yahudi menindihkan baju besinya di bahagian belakang jubah wanita itu sementara si wanita tidak menyedarinya. Ketika ia bangun, jubahnya tertarik ke belakang dan auratnya pun terlihat. Peristiwa tersebut menjadi bahan sendaan dan tertawaan sekelompok kaum Yahudi. Namun seorang muslim yang kebetulan ada di tempat itu bertindak melompat dan membunuh salah seorang dari mereka. Sejak kejadian itu, kaum Yahudi mengurung diri dalam kubunya. Sementara Rasulullah dan para sahabat datang mengepung selama lima belas hari. Akan tetapi mereka akhirnya keluar dan menyatakan siap menerima hukuman. Dan mereka pun diusir keluar dari kota Madinah oleh Ubadah bin ash-Shamit, pergi menuju Adzri’at di negeri Syam. Tidak lama setelah itu, mereka tewas di sana.
Hanya Kerana Hiba
Pada misi penyerbuan Rasulullah ke benteng Yahudi Bani Quraizhah, Abu Lubabah turut serta, sedang pimpinan pemerintahan di Madinah diserahkan kepada Abdullah ibnu Ummi Maktum. Rasulullah bersama para sahabatnya mengepung benteng Bani Quraizhah selama 25 malam, hingga mereka hidup dalam kekurangan dan ketakutan.
Setelah mereka meyakini bahwa Rasulullah tidak akan membiarkan mereka tanpa hukuman, akhirnya, Ka’ab bin Asad bertindak sebagai penengah. “Wahai orang-orang Yahudi! Kalian sudah mengetahui petaka apa yang telah menimpa kalian dan saya cuba menawarkan tiga hal, terserah kalian untuk memilih diantaranya yang kalian senangi.” “Apa itu?’ “Kita mengikuti Muhammad dan mempercayainya. Demi Allah, sebenarnya kalian sudah mengetahui bahawa dia adalah seorang Nabi dan Rasul Allah, dan bahawa ciri–cirinya sudah dinyatakan dalam kitab kalian. Dengan demikian, kalian telah mengamankan darah, harta, anak-anak, dan isteri- isteri kalian semuanya.” “Tapi kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat dan tidak akan menggantikannya dengan hukum lainnya hingga bilapun,” mereka bertegas. “Kalau kalian menolak usulku itu, baiklah, kita bunuh anak–anak dan isteri–isteri kita, lalu kita keluar dengan pedang terhunus melawan Muhammad dan para sahabatnya tanpa meninggalkan rasa berat sedikitpun, hingga Allah menentukan siapa diantara kita yang menjadi pemenangnya. Kalau kita tewas, kita tewas tanpa meninggalkan keturunan yang kita khuatirkan di belakang hari dan kalau kita menang, kita yakin masih boleh mendapatkan perempuan dan masih boleh mendapatkan anak–anak lagi.”
“Apakah kita akan membunuh anak–anak dan isteri–isteri kita? Apalah ertinya hidup tanpa mereka?” tanya mereka. “Kalau kalian menolak juga usulku itu, ketahuilah bahawa malam ini adalah malam Sabtu. Mungkin saat ini saat yang tepat kalian keluar menemui Muhammad dan para sahabatnya, mereka akan mahu mengampuni kalian.” Mereka lalu mengirim seorang utusan kepada Rasulullah untuk meminta Abu Lubabah bin Abdul Mundzir dikirimkan kepada mereka untuk dimintakan pendapatnya. Rasulullah pun memerintahkan Abu Lubabah pergi menemui mereka. Meski begitu Rasulullah telah berpesan bahawa yang memberi keputusan adalah Sa’ad bin Mu’az. Begitu anak–anak dan isteri- isteri mereka melihat Abu Lubabah datang, mereka menangis meraung-raung memohon belas kasihannya. Sudah tentu, Abu Lubabah sebagai manusia tidak mampu menyembunyikan rasa hiba dan harunya. Apalagi, selama ini, ia dikenal sebagai orang yang berhati lembut dan berjiwa pemaaf, kasih sayangnya kepada sesama insan sangat besar. Abu Lubabah sebagai manusia pasti terpengaruh oleh peristiwa itu. “Wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu, apakah kami akan tunduk kepada keputusan Sa’ad bin Mu’az?’
Selanjutnya dapatkan Hidayah September 2011 di pasaran...
Monday, September 5, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment