Monday, January 13, 2014

Habib Munzir: Mimpi Bertemu Rasulullah Dan Angka 40

HABIB MUNZIR merupakan anak keempat dari empat beradik pasangan Fuad bin Abdurrahman Al-Musawa dan Rahmah binti Hasyim Al-Musawa. Ayahnya lahir di Palembang dan dibesarkan di Makkah. Setelah lulus pendidikan jurnalistik di New York University, Amerika Syarikat, ayahnya kemudian bekerja sebagai seorang wartawan di harian Berita Yudha yang lalu menjadi Berita Buana. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Cipanas, Jawa barat bersama-sama saudara-saudaranya, Ramzi, Nabiel Al-Musawa, serta Lulu Musawa. Ayahnya meninggal dunia tahun 1996 dan dikebumikan di Cipanas, Jawa Barat. Setelah ia menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, dia mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, dan Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, sebelum akhirnya terbang ke Yaman. Di negeri para habib itu, ia belajar di Ma’had Darul Musthafa pimpinan Habib Umar. Setelah lulus ia kembali ke Jakarta. Di masa-masa Habib Munzir mendirikan “Majlis Rasulullah”, gurunya Habib Umar bin Hafiz pernah menyatakan rasa bangganya saat beliau melihat iring-iringan jemaah memakai jaket hitam bertuliskan “Majlis Rasulullah”. Ya, seperti layaknya pohon subur, ilmu yang diserap Habib Munzir sudah menghasilkan buah yang manis. Tapi Habib Munzir mengaku pernah membuat ayahnya merasa kecewa. Ia pada mulanya tampak tak terlalu serius dalam menuntut ilmu. Ayahnya memang membebaskan Habib Munzir menuntut ilmu yang ia suka, apapun itu, walau ia mengharapkan Habib Munzir menuntut ilmu agama. “Kau ini mahu jadi apa? Jika mahu belajar ilmu agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri. Jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri, namun sarananku tuntutlah ilmu agama. Aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri barat, walau aku lulusan New York University, tetap aku tidak beroleh kejayaan di dunia kecuali dengan kelicikan, saling berebut dalam kerakusan berebut jawatan, dan aku menghindari itu,” nasihat si ayah. Satu hal yang menonjol dari Habib Munzir sejak kecil adalah kecintaannya pada Rasulullah s.a.w. Ia mengaku kerap bermimpi bertemu Rasulullah. Dalam satu kesempatan Habib Munzir mengkisahkan mimpinya itu. “Suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut Nabi s.a.w. dan berkata ‘Saya sangat rindu padanya, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal boleh berjumpa denganmu, atau matikan aku sekarang, aku terseksa di dunia ini.’ Rasulullah lalu menepuk bahuku dan berkata, ‘Munzir, tenanglah! Sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah berjumpa denganku’ dan saya terbangun,” kisah Habib Munzir. Habib Munzir sempat menjadi pelayan di hostel yang didirikan ibunya. Sambil bekerja, kadang-kadang penyakit asmanya menyerang. Ia berusaha melawan itu dengan berpuasa Nabi Daud. Ia membuat minuman, memasak nasi goreng pesanan tamu dan membersihkan bilik-bilik hostel. Di masa itu ia sempat belajar di Bukit Duri kepada Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, namun tak bertahan lama kerana sakit asmanya kerap berulang. Ia lalu mengikuti kursus bahasa Arab dan sering menghadiri peringatan maulid yang digelar Habib Umar bin Hud al-Attas di Cipayung. Kalau tak ada biaya ia pergi menumpang lori dari Cipanas menuju Jakarta. Keadaan Habib Munzir yang tampak tak jelas membuatnya dipandang bagaikan sebelah mata. Bahkan, Habib Munzir mengaku takut ikut berkumpul saat menyambut hari raya kerana keadaannya itu kerap dipermasalahkan.
Dalam keadaan itu ia kerap berdoa sambil menangis agar dipertemukan dengan guru yang dicintai Rasulullah. Tahun 1994 ia berjumpa dengan Habib Umar bin Hafiz, seorang guru dari Yaman. Tak disangaka-sangka, Habib Umar memintanya untuk belajar ke Tarim, Yaman. “Namamu Munzir kelak kau akan menjadi pemberi peringatan pada jemaahmu kelak,” ujar Habib Umar kepada Habib Munzir.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Januari 2014 di pasaran...

No comments: