DI ZAMAN persaingan yang serba ketat ini, kita acapkali menyaksikan banyak ‘keganjilan’ di sekitar kita. Sesuatu yang sulit diterima oleh akal sihat, apalagi dengan hati nurani. Berita tentang kebenaran selalu diputarbalikan sesuai dengan kehendak hati. Khabar ‘A’ boleh berubah menjadi khabar ‘B’. Khabar yang berisi ‘B’ akan diganti menjadi khabar ‘C’, dan seterusnya. Tapi, tahukan anda, bahawa perilaku semacam ini sudah lama dilakukan oleh makhluk Allah bernama manusia di muka bumi ini. Ratusan abad silam, umat Nabi Musa a.s., yang kini lokasinya ialah negara Mesir dan sekitarnya itu, telah terjadi budaya memutarbalikkan sebuah kebenaran. Ketika Nabi Musa mengatakan ‘A’, maka umatnya yang senang membangkang itu mengubahnya menjadi ‘B’. Ya, mereka adalah Bani Israil: sebuah komuniti manusia yang, hakikinya, mereka adalah keturunan para nabi terdahulu. Sebenarnya, mereka memiliki perilaku dan sifat mulia seperti nenek moyang mereka. Hal ini terakam dan tercatat dalam al-Quran. Allah berfirman: “Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu azab dari langit, kerana mereka berbuat fasik.” (QS. Al-Baqarah: 59) Ayat ini terkait erat dengan ayat sebelumnya. Huruf fa, yang diterjemahkan dengan kata ‘lalu’, merupakan huruf ‘athaf atau huruf penyambung dalam bahasa Arab. Dalam konteks ini, huruf ‘athaf pada ayat ini merupakan bentuk kata sambung yang menghubungkan keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya, yakni QS. Al-Baqarah: 58, Allah menyuruh Bani Israil agar memasuki Baitul Maqdis dengan tidak sombong, penuh rendah hati, seraya sambil memohon ampun kepada Allah (hithhah). Dalam ayat sebelumnya, Allah menyebut kata hitthah, yang berarti ‘memohon ampun kepada Allah’. Hithhah, menurut Quraish Shihab dan sejumlah ulama tafsir lainnya, adalah upaya memohon ampun dan diampuni sambil disertai dengan beramal baik. Sayangnya, sekelompok Bani Israel mengejek dan menghina dengan mengganti kata-kata hitthah, yang artinya “Ya Allah, ampunilah kami”, dengan kata-kata yang mirip dengannya, iaitu hintah yang ertinya ‘gandum’. Antara kata hithhah dengan hintah tentu berbeda jauh maknanya, meskipun secara bunyi hampir mirip. Hithhah adalah bentuk doa seorang hamba yang terimplikasikan dengan perbuatan merasa berdosa, sedangkan hintah adalah jenis makanan. Hithhah adalah keperluan spiritual dari setiap relung hamba-hamba yang mengharapkan kebaikan di hadapan Allah, sedangkan hintah adalah benda yang merupakan keperluan jasmani manusia. Pertanyaannya adalah, kenapa Bani Israil mengubah kata hithhah menjadi hintah. Ibnu Katsir menyebut kerana mereka merupakan umat pembangkang, dan senang mengolok-olok apa yang disampaikan para nabi mereka. Tujuannya satu, yakni tidak mahu mempercayai dan meyakini setiap kebenaran yang dibawa oleh para nabi mereka, termasuk apa yang diajarkan Nabi Musa kepada mereka. Maksud ayat ini sudah tegas, iaitu ada dalam kalangan mereka yang tidak setia menjalankan apa yang diperintahkan. Tidak patuh sebagaimana yang diarahkan oleh Nabi Musa. Disuruh tunduk, mereka menyombong. Disuruh memakai kata-kata yang berisi mohon ampun (hithhah), mereka malah minta gandum (hintah). Disuruh makan baik-baik, mereka justeru makan dengan rakus. Akibatnya apa? Allah menurunkan balasan berupa azab kepada mereka berupa penyakit berjangkit yang menyebar dan menular secara cepat. Dalam ayat lain disebutkan bahawa azab yang diberikan kepada kaum Bani Israil ini berupa seksaan yang sangat pedih dalam bentuk aneh seperti ribut taufan, belalang, kutu, katak, dan darah. Pada ayat di atas Allah menyebut kata ‘azab’ yang diberikan kepada Bani Israil dengan istilah kata rijzun (azab). Dalam al-Quran, untuk menyebut azab, Allah adakalanya menggunakan dengan beberapa istilah, diantaranya azab mahupun rijzun. Secara jelas, rijzun lebih menjurus pada makna ‘kutukan’, yakni azab yang sangat keras yang disebabkan oleh sesuatu perbuatan menentang petunjuk atau ayat-ayat Allah. Hal ini juga ditegaskan Allah dalam QS. Al-A’raf: 162. Sesungguhnya sebagaimana yang dikatakan pada ayat di atas, balasan ini hanya menimpa orang-orang zalim dan tidak semua kaum tertimpa wabak ini. Ayat ini menunjukkan bahawa bila-bila saja, sikap suka menyimpang, mempermainkan kebenaran, keras kepala dan khianat sudah menguasai suatu masyarakat, maka pintu untuk turunnya azab Allah ke bumi akan terbuka.
Selanjutnya dapatkan Hidayah November 2011 di pasaran...
Sunday, November 13, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment