Monday, December 9, 2013

Jejak Islam Di Kota "Tiongkok Kecil"

Tapi, jika anda kebetulan menempuh perjalanan dari Semarang ke Surabaya melewati jalur darat pantai utara, tidak ada salahnya singgah sebentar di kota ini. Apalagi, letak kota ini di jalan utama Semarang-Surabaya (yang pada zaman Belanda dulu disebut grotepostweg atau jalan raya pos) sehingga boleh jadi tempat istirahat sejenak di tengah perjalanan. Kenapa kota ini perlu disinggahi? Apa kelebihan dan keunikan kota ini? Kota ini menyimpan sejarah lama yang layak dikunjungi. Dahulu, kota ini dikenal sebagai kota pelabuhan. Selain itu, Lasem pernah jadi kerajaan. Alasan lain, kota ini menyimpan sejarah tentang kebudayaan China. Itu boleh dilihat dari bangunan-bangunan bersejarah di sepanjang jalan utama kota ini yang terbilang unik kerana senibina arkitektur khas China dan beberapa nuansa Eropah klasik. Kebudayaan China di Lasem masih kuat kerana memiliki sejarah yang panjang dan unik. Tak salah, jika kota ini oleh peneliti dari Eropah di zaman Belanda dijuluki “The Little Beijing Old Town” dan oleh peneliti dari Perancis dijuluki “Petit Chinois” (China kecil atau Tiongkok kecil). Julukan unik tersebut memang bukan tanpa alasan.  Tapi, dalam kesempatan ini penulis tidak akan menjelaskan perihal kebudayaan dan tradisi China di Lasem yang masih mengakar. Melainkan menambahi catatan kenapa kota ini layak dikunjungi; kota ini memiliki jejak penyebaran dan perkembangan Islam yang menarik.

Sejarah Kota Tua Lasem
Sebelum Islam masuk di kota Lasem, dahulu - pada masa kerajaan Majapahit - kota ini sudah dikenal sebagai sebuah kerajaan. Bahkan, dikatakan pada abad ke-7, Lasem sudah memiliki pelabuhan. Tetapi, pada abad  ke-7 sampai awal masa kerajaan Majapahit itu tidak ada catatan yang boleh dijadikan rujukan. Lasem baru dikenal sebagai kerajaan pada tahun 1351 – pada masa kerajaan Majapahit. Hal itu didasarkan pada isi Piagam Singosari (pada 1351). Pada masa itu, Lasem diperintah Ratu Duhitendu Dewi (bergelar Bre Lasem). Bre Lasem ini masih punya hubungan kekerabatan dengan Majapahit, bahkan Bre Lasem adik perempuan dari Prabu Hayam Wuruk. Saat itu, kota Lasem sudah dikenal luas kerana memiliki pelabuhan. Dengan keberadaan pelabuhan inilah yang mengantarkan orang-orang China datang ke Lasem. Dikatakan laksamana Cheng Ho disebut-sebut pernah mendarat di Lasem pada 1334 M. Bi Nang Un, seorang nakhoda dari rombongan Cheng Ho – dan berasal dari tanah Campa (kemboja) - rupanya tertarik dengan keindahan Bonang -Binangun di kota Lasem tersebut. Dia pun mengutarakan keinginannnya untuk tinggal di Lasem, dan disetujui Adipati Wijaya Badra. Setahun kemudian, pada 1335, dia membawa keluarganya menetap di Lasem. Adipati Wijaya Badra memberi dia tanah di Kemandung. Itu mulanya etnik China datang ke kota Lasem. Setelah itu, disusul etnik China yang lain.

Sejarah Islam di Lasem
Setelah kerajaan Lasem runtuh, berdiri Kadipaten Binangun Lasem (di dekat pelabuhan Teluk Regol [1469]). Kadipaten Binangun didirikan oleh pangeran Wira Braja - putera Pangeran Badra Nala - cicit Rajasa Wardhana dan Duhitendu Dewi. Pada masa kadipaten Binangun ini, Islam mulai tumbuh. Sejarah masuknya Islam di Lasem itu tak lain kerana peranan Bi Nang Un, serta pedagang-pedagang Arab dan Parsi. Sebab, Bi Nang Un meskipun China kerap disebutkan beragama Islam (beraliran/Mazhab Hanafi). Tetapi kemajuan pesat Islam boleh mengakar kuat di Lasem tidak lain kerana telah masuk ke istana Kadipaten Binangun. Bahkan putera mahkota Kadipaten Binangun, Pangeran Wiranegara, sempat belajar agama kepada Sunan Ampel. Ketika pangeran Wiranegara naik takhta menggantikan ayahnya, Islam menjadi agama rasmi di istana Kadipaten Binangun. Di bawah kekuasaan Wiranegara itulah, pusat pendidikan Islam dan masjid  didirikan. Tidak itu saja, Pangeran Wiranegara meminta Raden Maulana Makdum Ibrahim (yang dikenal Sunan Bonang) dari Tuban hijrah ke Lasem untuk dakwah. Selain itu, juga mengangkat Sunan Bonang sebagai “wali negara”. Pangeran Wiranegara menduduki takhta Kadipaten Binangun lebih kurang 5 tahun. Dia meninggal 1474. Jawatan Adipati kemudian diteruskan oleh isterinya, yakni Nyi Ageng Maloka. Setahun kemudian, Nyi Ageng Maloka memindahkan istana (Kadipaten Binangun yang awalnya di Bonang-Binangun) ke Colegawan. Adapun istana Kadipaten Binangun diserahkan kepada Sunan Bonang, yang tidak lain adalah adiknya untuk keperluan syiar dan dakwah agama Islam. Sunan Bonang tidak lain adalah putera dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Konon, Raden Maulana Makdum Ibrahim disebut Sunan Bonang kerana menjalankan syiar Islam dan dakwah di desa Bonang, Lasem, kabupaten Rembang. Tetapi, pendapat lain mengatakan bahawa sebutan Sunan Bonang itu tidak lain dari Bong Ang sesuai nama marga Bong – sebagaimana nama sang ayah, Bong Swi Hoo, alias Sunan Ampel.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Disember 2013 di pasaran...

No comments: