Wednesday, June 11, 2014

Akhir Hayat Tragis Si Pengedar Dadah

TANJUNG KARANG, 1976-1980.
KETIKA itu, pemuda anak-anak remaja Lampung sedang gila-gila meminati kumpulan muzik Rolling Stone, disco ala ‘River of Baby-lon’-nya Boney M, dan filem aksi sejenis ‘Dirty Harry’ degan lagak hero Hollywood Clint Eastwood. Beberapa tempat hiburan seperti kelab malam sepanjang Teluk Betung dan Presiden Theatre, juga menjadi tumpuan muda-mudi pada masa itu. Salah seorang pemuda yang tidak pernah tidak hadir dalam hiburan dunia malam itu, adalah Ferry. Perawakannya kurus tinggi, rambut panjang ala kumpulan The Beatles, dan matanya meredup seperti orang yang kurang tidur. Ya, pada saat itu Ferry memang sudah lama menjadi ‘penagih dadah’. Bukan hanya pil BK dan ganja, tapi sudah sampai kelas heroin. Untungnya dia sebagai anak dari keluarga agak berada, membuat Ferry mudah mendapatkan apa yang dimahunya. Sebenarnya, Ferry anak yang cerdas. Hal itu dibuktikan dengan kejayaannya masuk menduduki sebuah pusat pengajian tinggi. Menurut Jhoni (bukan nama sebenarnya), sahabatnya, Ferry memang agak pendiam. Dia sulit untuk mesra dengan orang lain. Kalau bertemu orang, paling-paling dia hanya tersenyum. Namun, justeru itulah yang membuat sosok Ferry menjadi istimewa, sehingga kawan-kawan kalangan elit pun ingin lebih dekat mengenalinya. Tetapi, status sosial tidak membuat Ferry menjauhi teman-temannya yang berasal dari golongan kurang berada. Bersama Jhoni, ia kerap duduk melepak di kios rokok yang terletak di permukiman padat penduduk, di kawasan Teluk Betung. Di kios rokok dekat mulut jalanan itu, Ferry disambut seperti ‘raja’. Maklumlah, disana Jhoni sangat disegani sehingga pemuda setempat tidak ada yang berani mengusik teman-teman Jhoni. Hubungan Ferry dan Jhoni bagaikan aur dengan tebing. Saling perlu memerlukan. Saling kait mengait. Mereka kerap mabuk dan main judi bersama. Kaki lima rumah Jhoni yang sempit itu, hampir setiap hari dipenuhi oleh penjudi. Bahkan jika para penjudi itu berkumpul, permainan sampai dipecah menjadi tiga kumpulan; khusus orang tua-tua (masuk usia warga emas), ibu-ibu pun tumpang sekaki dan para remaja. Pada masa itu, jalan atau lebih tepat lorong sempit di dekat rumah Jhoni memang terkenal sebagai ‘tempat maksiat’. Polis dan kakitangan keamanan tidak mampu membenteras perjudian di wilayah itu. Kaum wanita suri rumah di sekitar sana, justeru banyak yang terpengaruh sehingga mencuba mengadu nasib bermain judi. Suatu kali, Ferry terserempak oleh bapanya waktu sedang menyeluk saku baju bapanya yang tergantung di bilik tidur. Kerana merasa dikecewakan, bapanya lantas memotong wang perbelanjaan Ferry. Tentunya, Ferry tidak dapat lagi membeli dadah. Dua tiga hari, ia masih masih boleh menahan diri. Namun ketika tubuhnya menggigil dan hidungnya berhingus akibat lama tidak mendapat heroin, akhirnya Ferry sudah tidak tahan lagi. Dia meminjam wang pada Jhoni untuk membeli barang terlarang itu. “Nanti akan saya bayar balik, percayalah...” Jhoni masih ingat, Ferry mengucapkan kalimat itu dengan wajah merayu menghiba. Sebanyak lima puluh ribu rupiah (RM15)wang haram (hasil judi) yang dipinjam dari Jhoni, Ferry gunakan untuk membeli dadah. Saat itu Ferry merasa beruntung lantaran ia membelinya langsung dari tangan pertama, sehingga ia mampu membeli barang laknat itu sampai satu kilo. Dengan stok yang lumayan, fikir Ferry, ia dapat menjualnya kembali kepada orang lain, dengan mengambil untung lima ribu rupiah per ons (waktu itu lima ribu rupiah tergolong jumlah agak besar). Perkiraan Ferry memang benar. Untung yang ia dapatkan ternyata sangat lumayan. Dari situ ia memutar kembali keuntungannya dengan membeli dadah jenis kategori ringan, seperti pil BK dan ganja, untuk dipasarkan di sekitar jalan rumah Jhoni.

Selanjutnya dapatkan Hidayah Jun 2014 di pasaran...

No comments: