Wednesday, March 31, 2010

Mata Dan Hidung Berdarah Saat Sakaratul Maut

Mata Maryam berkaca-kaca saat melihat anak lelakinya, Akhyar, 23, tahun, yang terus tergolek di pembaringan. Sudah beberapa hari, suhu badan Akhyar makin tinggi. Agar demamnya mereda, ubat penurun panas pun sudah diberikan. Namun malangnya, belum juga menunjukkan perubahan, tubuhnya terus melemah. Betapa pun anaknya ditangkap dalam keadaan mabuk-mabuk dan bergelumang maksiat, si ibu itu tak sampai hati melihat penderitaan anaknya. Dielus-elusnya wajah anak itu, ditatapnya dalam-dalam, seolah-olah tidak mahu berpisah dengannya. Seraya menangis tersedu-sedu, si ibu mencelupkan kain tuala kecil ke dalam air sejuk. Tuala itu kemudian ditekapkan ke atas dahi anaknya. Dia berharap dengan berbuat demikian panas tubuh anaknya itu dapat berkurangan. Di dalam ruang bilik berukuran 4 x 3 m, dengan mukanya yang sembab, si ibu itu menegadahkan kedua tangannya. Dia berdoa kepada Allah Yang Khalik agar demam yang dideritai anaknya beransur kurang. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya. Keadaan Akhyar bertambah parah. Jangankan turun panasnya, malahan di sela-sela kedua matanya menitiskan pula darah. Begitu pun dari lubang hidungnya.
Si ibu terperanjat saat melihat pemandangan ini. Dia bingung tak tahu apa yang hendak dilakukan ketika melihat titisan darah memenuhi wajah anak kesayangannya. “Abang...abang!” jeritnya memanggil suaminya. “Abang..!” dia sekali lagi memanggil suaminya dengan suara cemas. Sejurus kemudian, suami yang dipanggilnya sudah berada di tempat itu. “Ada apa hal ni?” “Anak kita...!” “Ha...lekas kita bawa ke hospital.” Begitu paniknya mereka ketika melihat darah keluar dari lubang hidung dan kedua mata anak mereka. Sambil menunggu datangnya ambulan, Maryam terus mengelap anaknya dengan tuala yang dibasahkan dengan air sejuk dan membersihkan darah yang terus mengalir itu dengan kapas. Ambulan datang. Tubuh Akhyar yang panas dan menggigil digotong ke dalam ambulan. Sementara beberapa orang kampung mulai berkumpul di tempat itu dan menyaksikan pemandangan yang mengharukan itu. Ambulan segera menyibak jalanan. Riak cemas terlihat di muka kedua ibu bapa itu. Si ibu tak henti-hentinya mengusap air matanya. “Lebih baik kita berdoa. Kita pasrahkan semuanya pada Allah s.w.t. Mudah-mudahan Allah memberikan pertolongan untuk anak kita,” nasihat suaminya. “Anak kita... Anak kita...” kata isteri itu sambil menangis. Tangis perempuan itu mulai mereda, namun sedu-sedannya masih terdengar. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya ambulan tadi datang kembali, meraung-raung sepanjang jalan hingga berhenti tepat di depan rumah mereka. Maryam bertanya-tanya dalam hati: ada apakah gerangan? Bukankah baru satu jam tadi ambulan itu pergi dan kini telah kembali ke rumahnya? Tak sempat berkata-kata, tubuh Akhyar yang berbalut kain putih itu dikeluarkan dari dalam Ambulan. Terlihat bercak-bercak darah merembes di kain putih itu. Setelah dibuka kain penutupnya, jasad Akhyar itu ternyata sudah tak bernyawa lagi. Mereka diberitahu Akhyar telah meninggal dunia dalam perjalanan ke hospital. Kesedihan menyelubung suasana. Warga yang hadir pun tumpang berduka, sementara Maryam berusaha untuk menguasai dirinya meski perasaannya begitu pedih setelah kehilangan anak tercintanya.

Salah Pergaulan
Akhyar berasal dari keluarga yang berkecukupan di kampungnya. Oleh kerana itu, dia mampu melanjutkan pengajian hingga ke perguruan tinggi. Kebetulan sekali, rumah tinggalnya juga tak jauh dari kampus. Kedua ibu bapanya memiliki dua buah rumah. Yang pertama ditinggali bersama keluarga, termasuk Akhyar; sedang rumah kedua yang letaknya dekat dengan kampus masih kosong, belum ada yang menempati. Hanya kadang-kadang saja rumah kosong itu dipergunakan untuk menyimpan barang-barang jualan kain baju. Kerana hanya berfungsi sebagai gudang, ibu bapa Akhyar bermaksud menyewakan rumah tersebut guna mendapatkan penghasilan tambahan selain hasil berjualan kain baju di pasar. Tidak perlu waktu lama, rumah kosong itu pun sudah ada yang menyewa. Beberapa mahasiswa, teman-teman Akhyar di kampus, tertarik dengan rumah itu. Alasan utamanya, pemilik rumah tidak tinggal bersama sepanjang mereka menyewa hingga mereka berfikir lebih bebas berbanding jika terpaksa tinggal bersama-sama tuan rumah. Si pemilik rumah tak pernah menduga bahawa rumah yang disewakan itu akan disalah gunakan. Soalnya, setelah perjanjian sewa terjadi, dia mempercayai sepenuhnya kepada mereka, tambahan Akhyar juga sering menginap di rumah tersebut. Demikian pula saat Akhyar meminta orang tuanya untuk membelikan TV dan VCD sebagai hiburan di rumah yang mereka sewakan, tak ada kecurigaan sedikit pun. Ibu bapanya selalu berfikir positif tentang keinginan anak lelakinya terlebih berada dalam kelompok para pelajar itu. Namun siapa sangka, lingkungan yang dianggap selamat buat anak remaja mereka justeru membuat perilaku si anak menjurus ke akhlak yang tidak baik. Tanpa pantauan ibu bapa masing-masing, Akhyar dan teman-temannya bebas berbuat apa saja di rumah sewa itu. Kepercayaan ibu bapanya untuk menjaga etika bermasyarakat tak diindahkan, malah disalahgunakan oleh para mahasiswa tersebut. Akhyar yang sebelumnya telah lama terbiasa dengan minuman keras tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya turut menebarkan kebiasaan buruk di tempat itu. Apabila malam tiba, dia menghabiskan waktunya bersama teman-temannya dengan meneguk minuman keras sambil menyaksikan VCD porno yang didapatkan dari teman-teman mereka.

Seterusnya dapatkan Hidayah April 2010 di pasaran...

No comments: