Berbeza dengan beberapa Wali lainnya, tak banyak kontroversi mengenai garis keturunan Sunan Kudus. Beliau diyakini, Putera Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung dari Jipang Panolan (sekarang Blora). Sunan Kudus yang memiliki nama asal Ja’far Shadiq adalah hasil perkahwinan Sunan Ngudung dengan adik Sunan Bonang dari Tuban, Syarifah. Namun ada juga yang menyebut Sunan Ngudung kahwin dengan Dewi Rukil Puteri Sunan Bonang. Ayah beliau dikatakan, salah seorang Putera Sultan dari Mesir yang berkelana hingga ke Jawa. Sunan Ngudung dalam riwayat pernah menjadi senopati Demak. Satu hal yang paling menonjol dalam diri Sunan Kudus adalah gelar waliyul ilmi yang disematkan padanya. Sunan Kudus terkenal ahli dalam ilmu filsafat, tatanegara, keperwiraan bahkan puisi. Itu masih ditambah dengan kecendikiaannya dalam Tauhid, Ushuluddin, Mantiq dan fiqh. Gelar itu juga merujuk pada kecerdikannya dalam berdakwah, ia berhasil menarik umat Hindu dan Budha ke dalam Islam tanpa paksaan. Inilah yang disebut para ahli sebagai jejak penting warisan Sunan Kudus dalam bidang toleransi sosial. Suatu waktu Sunan Kudus membeli lembu dari seorang pedagang India. Lembu itu kemudian dinamai Kebo Gumarang – ditambatnya di halaman rumah. Tentu saja lembu yang terlihat gemuk itu menarik perhatian masyarakat. Lembu haiwan yang disucikan dalam agama Hindu, - agama majoriti masyarakat saat itu. Perhatian masyarakat itu juga menimbulkan kecemasan. Apakah yang akan dilakukan Sunan Kudus dengan lembu itu? Akan disembelihkah? Muncul berbagai fitnah dalam masyarakat. Ternyata kejadian berikutnya sangat mengejutkan. Dugaan yang Sunan Kudus akan menyembelih lembu tertnyata tak terbukti. Masyarakat yang merasa cemas akan berlaku penghinaan terang-terangan atas keyakinan mereka jadi terkejut. Sunan Kudus memberitahu dia melarang siapa saja menyembelih lembu. “Dulu saya pernah terselamat dari kehausan kerana minum air susu lembu yang tiba-tiba datang menghampiri saya,” ujar Sunan Kudus.
Halus dan Cerdas
Masyarakat kemudian bertambah terpesona bila Sunan Kudus mengisahkan nama salah satu Surah Al-Qur’an, Al-Baqarah, yang bererti lembu. Timbul rasa ingin tahu masyarakat tentang surah itu. Inilah peluang terbaik bagi Sunan Kudus. Melalui simbol lembu yang lekat dalam kehidupan rakyat, dia masukkan ajaran tauhid sedikit demi sedikit. Simpati masyarakat pun timbul. Di Kudus, di beberapa bahagian masyarakat, larangan menyembelih lembu masih dianut. Selain Hindu, Sunan Kudus juga berdakwah ke umat Buddha melalui ajaran Buddha sendiri. Di masjidnya, Sunan Kudus membuat padasan (tempat wudhu) berjumlah lapan. Angka ini cukup keramat bagi umat Buddha. Delapan melambangkan “Asta Sanghika Marga” – jalan berlipat lapan. Lapan jalan itu di antaranya hidup, bekerja, berkata dan beribadah dengan benar. Ajaran itu sendiri secara sebenarnya tak bertentangan dengan Islam. Hingga menjadikan sejajar bukanlah hal berat. Simpati rakyat kembali mengalir kepadanya. Ramai umat Buddha banyak menemui Sunan Kudus dan meminta penjelasannya. Cara dia mengingatkan kita pada sistem Sunan Kalijaga. Tak hairan, selain belajar pada ayahnya, Sunan Kudus memang berguru pada wali keramat itu. Namun ada yang menilai sistem Sunan Kudus lebih halus. Dia pun terkenal toleran pada budaya masyarakat. Tradisi silam misalnya. Tradisi meminta doa bagi bayi 3 bulan di kandungan, dengan halus diubah menjadi baca doa selamat. Selain itu, permintaan agar anak tampan seperti Arjuna atau cantik seperti Dewi Ratih, diganti supaya seperti Nabi Yusuf dan Siti Maryam. Sang ibu pun diperintahkan sering-sering membaca surah Yusuf dan surah Maryam. Ada pula kisah menarik di kalangan masyarakat Jawa mengenai Sunan Kudus saat di Makkah. Alkisah, ketika Sunan Kudus menuntut ilmu di Mekkah terjadi peristiwa yang menguncangkan negara suci itu. Wabak penyakit ganas menyerang penduduk. Saat itu boleh dikatakan keadaan negeri Makkah darurat. Banyak penduduk yang meninggal. Sedemikian gentingnya hingga pemerintah yang menangani wabah penyakit itu berpendapat wabah itu hampir mustahil diatasi. Akhirnya, Raja Arab mengadakan sayembara. Diumumkan bagi siapa saja, yang dapat mengatasi wabah tersebut akan diberi harta melimpah, walhasil, mendengar hadiah yang memikat, berdatanganlah para pakar ubat, tabib dan cerdik pandai mencuba memusnahkan wabah tersebut. Namun hasilnya ternyata mengecewakan. Tak satupun berhasil. Raden Ja’far Shadiq kemudian beritikad membantu. Dengan izin Allah s.w.t, wabah yang mengusik kententeraman itu berhasil dimusnahkan. Beberapa orang yang menderita penyakit kronik berhasil ia sembuhkan. Raja yang mendengar berita gembira itu segera memanggil Sunan Kudus menghadap. Sesuai dengan janji, raja segera memberikan hadiah. Tapi, momen ini tergambar justeru bukan sebagai sebentuk kepahlwanan. Di luar dugaan, Sunan Kudus menolak menerima hadiah raja. Dengan tulus dia berkata bahwa apa yang dilakukannya semata kerana Allah s.w.t.
Seterusnya dapatkan Hidayah April 2010 di pasaran...
Wednesday, March 31, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment