“Astaghfirullah al-adzim...astaghfirullah al-adzim,” kalimat itu seringkali diucapkan orang-orang saat menyaksikan Sayekti sedang bergelut menghadapi sakaratul maut. Mulai dari anaknya sendiri yang tekun merawatnya sampai beberapa orang jiran yang menjenguknya. Semuanya melontarkan rasa keperihatinan yang mendalam atas apa yang dialami Sayekti. Berkali-kali Sayekti meregang nyawanya, mengalami nazak yang luar biasa. Mukanya menyeramkan, matanya membelalak. Dan yang lebih membuat rasa terharu adalah lidahnya yang menjulur-julur terus seperti anjing. Naudzu billahi min dzalik. Kadang-kadang dia menjulurkan lidahnya agak lama yang nampak lebih panjang dari lidah manusia biasa, kemudian dia memasukkan lidah itu ke dalam mulutnya. Setelah itu, kembali lagi pemandangan yang sama terlihat. Begitulah seterusnya... Tubuh perempuan tua yang sudah tak berdaya di atas katilnya itu sungguh menyedihkan. Kulit tubuhnya mulai berkeriput, rambutnya mengerbang serta pakaian yang dipakainya berserebeh kerana setiap kali masa itu datang, perilaku Sayekti sungguh aneh. Bukan di bahagian muka saja yang ganjil, melainkan juga tangan dan badannya bergetar hingga membuat seperti katil serta pakaiannya tak karuan. Di tepi katilnya, Sunarti, si anak yang setia menemani ibunya, tak henti-hentinya menyeka air matanya yang sembab lantaran sering menitiskan air mata. Wajahnya begitu sedih. Dari cara duduknya, dia teramat gelisah serasa menyimpan banyak pertanyaan berkaitan keanehan yang ada pada ibunya. Namun, semua itu tak kuasa ia katakan, hanya disimpan di dalam hatinya. Masih teringat pesanan ibunya ketika sakaratul maut belum mendatanginya. Ibunya berpesan agar anaknya tidak perlu lagi mengikuti jejak pekerjaannya sebagai ceti (peminjam wang) atau (ah long). “Jangan ikut kerja ibumu, ya nak! Mungkin sakit ibumu ini akibat kerja ibu,” nasihatnya tanpa menjelaskan panjang lebar. Namun Sunarti dan juga orang ramai di kampung itu sudah maklum tentang pekerjaan Sayekti. Bisnes apa lagi yang dikerjakan Sayekti kalau tidak jadi ceti itulah. Di samping Sunarti, dua keluarga rapatnya tak kalah sedihnya. Akan tetapi keduanya lebih tabah seraya selalu mengingatkan agar Sayekti menyebut nama Allah. “Istighfar...istighfar...,” kata mereka sambil mengajarnya dengan bacaan kalimat thayyibah. Sayangnya, Sayekti tidak sanggup mengikutinya. Ia tak menghirau ajakan tersebut; justeru yang ditampakkannya adalah pemandangan serupa, lidahnya menjulur-julur seperti anjing. Rupanya kesedaran Sayekti sudah hilang berganti dengan penderitaan yang tak ada hujungnya. Dalam sekejap, khabar mengenai sakaratul maut Sayekti ini menjadi buah bibir jiran tetangga terdekat. Khabar ini bermula setelah salah seseorang yang menjenguk dan melihat kejadian aneh itu lalu menceritakan kepada yang lain. Desas desus yang berkembang di masyarakat adalah keanehan yang dialami oleh Sayekti berkait dengan bisnesnya yang sudah digeluti sejak masih muda hingga menjelang sakitnya.
‘Mencekik’ Orang
“Aduh...mencekik sekali kerjanya. Kalau boleh janganlah, carilah cara lain berbanding minta pinjam pada Sayekti,” jawab Sisri pada Marni. “Pasal apa tak boleh? Kamu sendiri meminjam wang dengannya,” tanya Marni setengah tak percaya. Sisri menghela nafas sejenak setelah merasa enak, dia pun menjelaskan tentang perempuan yang dianggapnya pernah “mencekik”-nya itu. “Ya... aku dulu memang pernah melakukan hal yang salah. Aku meminjam wang padanya kerana keperluan yang sangat mendesak. Jalan meminjam ke beberapa orang menemui jalan buntu, padahal aku harus mendapatkan segera untuk membayar belanja pengubatan anakku. Tanpa fikir panjang kesan meminjam padanya, aku menyetujui saja semua syarat yang dikatakannya itu. “Syarat-syarat inilah sebenarnya yang kukatakan telah mencekik aku. Akalku waktu itu tak boleh berfikir jernih, yang ada wang harus segera kudapatkan lantaran bayar rawatan yang sudah semakin membengkak. Aku khuatir jika tidak segera kubayar, biaya rawatan itu terus bertambah dan aku semakin tidak mampu membayarnya.” “Memang syaratnya apa, Sri?” tanya Marni. “Aku harus membayar hutang yang tidak sedikit itu dalam tempoh 7 hari berserta bunganya 10%. Jika tidak mampu membayarnya dalam tempoh yang disyaratkan, maka bunga itu akan terus bertambah.” “Oh... oh...” “Lantas kamu boleh membayarnya tepat pada waktunya berserta bunganya?”
“Tidak boleh, Mar. Bahkan berbulan-bulan, aku baru boleh membayarnya. Kerana aku tidak boleh membayar sekaligus, aku membayarnya dengan bunga yang besar. Sampai semua barang yang aku miliki habis aku jual untuk membayar pinjamanku kepadanya.” Kedua wanita tersebut tenggelam dalam perbincangan sepak terajang Sayekti. Ternyata dalam kenyataannya, bukan Sirsi saja yang menjadi korbannya tetapi juga banyak orang lain di kampung itu. Akibat berhutang pada Sayekti, mereka terus terjerat hutang yang tak pernah mereka fikirkan.
Sekali mereka menyetujui perjanjian pengembalian hutang, jika sedikit saja meleset dari pembayaran yang telah dijanjikan, maka mereka harus siap mengganti bunga-bunga tambahan yang makin lama memang mencekik mereka.
Selanjutnya dapatkan Hidayah September 2010 di pasaran...
Wednesday, August 25, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment