MUNGKIN anda sering mendengar lagu “Gundul-Gundul Pacul” atau “lir-lir” (ada yang menduga ini karya Sunan Bonang) yang dulu sering dinyanyikan oleh anak-anak dalam suatu acara daerah di tv. lagu itu merupakan salah satu warisan berharga dari Sunan Kalijaga. Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan kalijaga adalah anak Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama asalnya, Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut sejarah, Sunan Kalijaga juga disebut Lokajaya, Syeikh Malaya Raden Abdurrahman dan Pangeran Tuban. Gelaran “Kalijaga” sendiri ada beberapa tafsir. Ada yang menyatakan asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai) - maksudnya ‘Penjaga Sungai’. Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun di tepi sungai. Ada juga yang menulis kata itu berasal dari nama sebuah kampung di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah. Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia dikatakan lahir pada 1430 an, dikira dari tahun pernikahan Kalijaga dengan puteri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20an tahun. Sunan Ampel yang diyakini lahir pada 1401, ketika mengahwinkan puterinya dengan Sunan Kalijaga, berusia 50an tahun. Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam beberapa era pemerintahan, yakni masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Cirebon dan Banten, Kerajaan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580an) di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Tidak lama setelah itu, Sunan Kalijaga meninggal dunia dalam usia yang agak panjang, dikatakan sekitar usianya 150an tahun. Ia dimakamkan di kampung Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai di ziarahi orang baik dari dalam atau luar negeri. Selama hidupnya, Sunan Kalijaga dikenal dengan pendekatan dakwah budayanya. Ia sangat toleran pada seni dan budaya tempatan. Ia berpendapat bahawa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahawa jika Islam sudah difahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak menghairankan ajaran Sunan Kalijaga terkesan dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana atau cara dakwah. Ternyata dakwah seperti ini terbukti efektif. Sebagian besar Adipati (Ketua Daerah) di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah Adipati Pandaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas dan Panjang. Sejarah mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa syair, di antaranya Dandanggula Semarangan - paduan irama atau melodi Arab dan Jawa. Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang di beri nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini di simpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Sukarta, seiring dengan berpindahnya kekuasaan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekatan. Karya Sunan kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah ‘wayang beber’. Wayang jenis ini berupa kertas yang bergambar kisah pewayangan Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan diabadikan di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480an. Cerita dari mulut ke mulut menyebutkan bahawa Sunan Kalijaga juga mahir sebagai ‘dalang’ wayang kulit. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti. Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga berganti nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah karangan. Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci di tafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasaan mengadakan majlis kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puji-puji dalam persembahan itu dengan doa-doa dan bacaan dari kitab suci al-Quran. Diawal syiarnya, Sunan Kalijaga selalu mengembara ke pelosok kampung-kampung. Menurut catatan Profesor Husein Jayadiningarat, Sunan Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah di baiah sebagai murid Sunan Bonang. Di Palembang, ia sempat berguru pada Syeikh Sutabaris.
Selanjutnya dapatkan Hidayah Ogos 2010 di pasaran...
Wednesday, August 4, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment