Darah biru... Sejak memondok di sebuah pondok pesantren, istilah ini masih menyelimuti benak saya; ‘Darah Biru’ sebuah istilah yang ketika itu sempat menerbitkan kekaguman dan rasa terpesona saya bila seorang teman disebut-disebut masih ber-‘darah biru’. “Wah, Ahmad, anak pak kiai!” atau “Hei, si Syarif, anak pegawai anu tu...!” Seloroh-seloroh demikian kerap menjadi bahan perbualan di saat-saat senggang kami, para pelajar pondok. Dan, biasanya, bila orang yang dimaksud cerdas dan salih, saya dan teman-teman hanya boleh berkata: “Oh... Patutlah..!” Tapi, seiring waktu berjalan, saya mendapati seorang yang disebut berdarah biru itu tidak selamanya cerdas dan salih, tidak selamanya “figure” yang layak diikuti dan ditiru. Terlebih sejak saya mengenal peribahasa Arab yang seingat saya bunyinya begini: ‘Laisal fata man yaqulu kaana abi, walakinnal fata man yaqulu ha ana dza’ –bermaksud: [bukanlah [disebut] seorang pemuda yang berkata itulah bapa saya, akan tetapi dialah si pemuda yang berkata inilah saya]. Sejak itulah satu azam mengekal di palung kalbu saya: seorang ber-‘darah biru’ bukan jaminan menjadi peribadi hebat. Dan, memang, di kemudian hari saya acapkali mendapati seseorang yang disematkan memiliki ‘darah biru’ itu banyak tak sesuai dengan statusnya. Kelakuannya dan cakap-cakapnya jauh dari ke-darah biruannya itu. Bukankah banyak anak kiai, anak tok guru, anak ustaz yang tidak seperti bapanya yang kiai itu? Bukankah anak seorang raja banyak yang tidak seperti ayahnya yang raja?
Sayang, setelah saya mengenal bangku mahasiswa dan kemudian bekerja, istilah ini masih saja menghantui saya. Darah biru. Sebuah frase yang bila merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna keturunan bangsawan satu istilah yang kini begitu mudah didakwa di mulut saudara-saudara semuslim saya. Baik secara langsung atau tidak langsung, entah bercengkerama langsung atau tidak langsung, saya biasa menjumpai orang dengan begitu Bertentangan, bukan? Entahlah. Saya hanya boleh mengelus dada dan mengumam di hati: Astaghfirullah... Kerana itu, pertanyaannya kemudian: Bagaimanakah memaknai seseorang dengan label “darah biru” di namanya? Bagaimanakah mentafsir seberapa “biru”-kah darah seseorang? Hmmm... Saya jadi teringat almarhumah wanita Jepara yang namanya dicatat sebagai hari besar nasional, yang peribadi yang menjadi simbol bersejarah wanita Indonesia, yang pada setiap 21 April, segenap anak-anak sekolah mengenangnya serta menyambutnya secara rasmi. Dialah Raden Ajeng Kartini. Dalam sebuah risalahnya kepada Stella, sahabat penanya, ia pernah berkata: Bagi saya hanya ada macam keningratan: keningratan fikiran dan keningratan budi.”[Surat Kartini kepada Stella, 18 Ogos 1899]. Kata-kata Kartini itu begitu menggugah dan menyentuh batin saya. Ya, betapa keningratan (kebangsawanan), kedarah biruan itu sebenarnya ada di dalam fikiran, di dalam ‘state of mind’, cara berfikir seseorang. Betapa keningratan, kedarah biruan itu sesungguhnya ada pada budi seseorang, pada akhlak seseorang. Kerananya, semakin baik akhlak seseorang, semakin darah birulah seseorang. Atau semakin seseorang mengaku berdarah biru, maka seyogyanya semakin berbudilah ia. Perkataannya akan santun dan penuh hikmah, perbuatannya akan sarat kebajikan yang membahagiakan orang di sekelilingnya. Dialah bangsawan sejati, manusia berdarah biru sesungguhnya. Dan Islam membenarkan pendapat ini. Bukankah Allah s.w.t., dalam beberapa firmanNya, mengatakan: “Dialah yang telah menciptakan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya...” [Al-Mulk: 2].
Selanjutnya dapatkan Hidayah Ogos 2010 di pasaran...
Wednesday, August 4, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment