Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah lahir sekitar 1448 M (ada yang menyebut tahun 1450 M). Ayahnya bernama Sultan Syarif Abdullah, salah seorang Raja Mesir. Sedang ibunya bernama Nyai Rara Santang. Ia adalah puteri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan Nyai Sbang Larang, serta adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuana/Cakrabumi atau ‘Mbah Kuwu Cirebon Girang’.
Bonda Syarif dan kakaknya pernah berguru kepada Syeikh Djatul Khafi atau Syeikh Nurul Jati, seorang mubaligh asal Baghdad yang bernama asalnya Idhafi Mahdi bin Ahmad. Kerana itu pula, mereka akhirnya masuk Islam. Dikatakan, setelah keduanya khatam al-Quran, mereka disuruh Syeikh ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Selama berhaji, mereka tinggal di rumah Syeikh Bayanillah. Seperti dikisahkan dalam ‘Carita Purwakan Caruban Nagari’, ketika menunaikan haji itulah mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan (Raja) Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon isteri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal dunia. Rara Santang kebetulan mirip, lalu di bawa ke Mesir dan berkahwin dengan raja. Nama Rara Santang sendiri kemudian diganti dengan Syarifah Muda’im. Dari perkahwinan inilah lahir Syarif Hidayatullah. Ketika berusia 20 tahun, Syarif Hidayatullah disuruh bapanya pergi ke Makkah untuk memperdalami pengetahuan agama. Selama empat tahun ia berguru kepada Syeikh Tajuddin Al-Kubri dan Syeikh Ata’ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasawuf, lalu kembali ke negerinya, Mesir. Namun, belum saja usia Syarif bertambah dewasa, ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Oleh bapa saudaranya, Raja Onkah, Syarif hendak diserahi kekuasaan sebagai Raja Mesir. Namun Syarif menolak. Ia malah menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah. Syarif dan ibunya lebih memilih pulang ke tanah Jawa untuk berdakwah. Ketika kembali ke Jawa, Syarif Hidayatullah dan ibunya datang di negeri Caruban Larag pada tahun 1475 setelah singgah dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syarifah Muda’im kemudian minta izin untuk tinggal di Pasambangan atau Gunung Jati, agar lebih dekat dengan gurunya, Syeikh Nurul Jati, yang telah meninggal dunia. Izin pun didapatkan. Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah lalu meneruskan usaha Syeikh Datuk Khafi untuk membuka pondok Pesantren Gunung Jati. Dari sinilah Syarif Hidayatullah kemudian lebih dikenali dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Demi perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati kemudian dikahwinkan dengan Nyi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana. Selanjutnya, tahun 1479, kerana usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Sunan Gunung Jati dengan gelar Susuhunan ertinya orang yang dijunjung tinggi. Jawatan itu diterimanya dengan penuh amanah. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya, Sunan Gunung Jati berkunjung ke Pakakaran untuk mengunjungi datuknya, Prabu Siliwangi. Prabu diajak untuk masuk Islam kembali tapi tidak mahu. Meski Prabu Siliwangi tidak mahu masuk Islam, dia tidak pula menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Sunan Gunung Jati kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Kedatangan Sunan Gunung Jati disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan ia dijodohkan dengan puteri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkahwinan sinilah Sunan Gunung Jati dikurniai dua orang putera iaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Tidak lama kemudian, Sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan Pakungwati dan dirinya sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya kesultanan tersebut, Cirebon tidak lagi mengirim wang emas kepada Pejajaran yang biasanya disalurkan melalui Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu. Maka dikirimkannya sepasukan perajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Sunan Gunung Jati yang dianggap sewenang-wenangnya melantik dirinya sebagai raja tandingan Pajajaran.
Tapi tindakan ini tidak berhasil. Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran. Mereka mendapat hidayah masuk Islam dan menjadi pengikut Sunan Gunung Jati. Dengan bergabungnya perajurit dan perwira pilihan ke Cirebon, maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati.
Selanjutnya dapatkan Hidayah September 2010 di pasaran...
Tuesday, August 24, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment